Tiga pionir ilmu tanaman transgenik pada 17 Oktober lalu di negara Iowa menerima penghargaan World Food untuk tahun ini. Para pengecam teknologi itu mempertanyakan peran organisme hasil rekayasa genetika dalam memerangi kelaparan dunia.
Ketika Maria Dell Chilton memulai karir ilmiahnya pada 1970-an, ia percaya bakteri mikroskopis dan tangkai jagung terlalu jauh berbeda sehingga tidak mungkin bisa bertukar kode genetik.
Chilton menemukan bahwa keyakinannya itu salah ketika ia mempelajari infeksi umum pada tanaman, disebut mahkota empedu. Melanjutkan karya ilmuwan Belgia Marc Van Montagu, ia mendapati bahwa benjolan jelek itu terbentuk ketika kuman yang disebut Agrobacterium memasukkan DNA-nya sendiri ke dalam gen sel-sel tanaman. Tanaman itu kemudian memproduksi makanan untuk bakteri itu.
"Saya sangat terkejut. Saya terpesona. Agrobacterium benar-benar memiliki mekanisme genetika,” ujarnya.
Chilton bersama Van Montagu dan Rob Fraley serta perusahaan agribisnis Monsanto, segera menyadari bahwa para ilmuwan bisa memanfaatkan mekanisme genetika kecil untuk pemuliaan tanaman yang lebih fleksibel dan lebih tepat dibandingkan sebelumnya.
DNA setiap tanaman bagaikan informasi bernilai dari ratusan buku. Di sana terdapat gen untuk produktivitas, rasa, toleransi terhadap cuaca panas, bahkan ciri berbahaya atau beracun. Pemuliaan konvensional menghasilkan keturunan dengan beragam informasi acak dari buku-buku itu, mencakup informasi yang baik dan yang buruk.
Tetapi rekayasa genetika dapat memasukkan informasi hanya dari satu halaman buku, katakanlah berupa instruksi untuk menghasilkan protein yang membunuh serangga hama tetapi aman bagi manusia.
Hampir semua jagung dan kapas yang ditanam di Amerika mengandung gen jenis itu, mengurangi penggunaan insektisida setidaknya 50 juta kilogram per tahun.
Tetapi kritikus mencatat modifikasi lain, menambahkan gen untuk resistensi herbisida, meningkatkan penggunaan pembasmi gulma.
Menurut kutipan World Food Prize untuk Chilton, Van Montagu dan Fraley, 17 juta petani di dunia memproduksi tanaman GMO ini pada 2012, lebih dari 90 persen dari mereka adalah petani kecil di negara-negara berkembang.
Dikatakan, teknologi itu meningkatkan hasil, mengurangi penggunaan pestisida berbahaya, dan akan menjadi alat kunci untuk memberi makan sekitar sembilan milyar penduduk Bumi menjelang tahun 2050.
Hans Herren memenangkan hadiah itu pada 1995 untuk penggunaan metode alami dalam mengendalikan serangga hama yang mewabah di Afrika. Ia mengatakan, organisme hasil rekayasa genetika bukan cara terbaik memerangi kelaparan.
Menurut Herren, dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai dampak kesehatan, lingkungan dan sosial tanaman transgenik yang menyebar dengan cepat ke seluruh dunia.
Ketika Maria Dell Chilton memulai karir ilmiahnya pada 1970-an, ia percaya bakteri mikroskopis dan tangkai jagung terlalu jauh berbeda sehingga tidak mungkin bisa bertukar kode genetik.
Chilton menemukan bahwa keyakinannya itu salah ketika ia mempelajari infeksi umum pada tanaman, disebut mahkota empedu. Melanjutkan karya ilmuwan Belgia Marc Van Montagu, ia mendapati bahwa benjolan jelek itu terbentuk ketika kuman yang disebut Agrobacterium memasukkan DNA-nya sendiri ke dalam gen sel-sel tanaman. Tanaman itu kemudian memproduksi makanan untuk bakteri itu.
"Saya sangat terkejut. Saya terpesona. Agrobacterium benar-benar memiliki mekanisme genetika,” ujarnya.
Chilton bersama Van Montagu dan Rob Fraley serta perusahaan agribisnis Monsanto, segera menyadari bahwa para ilmuwan bisa memanfaatkan mekanisme genetika kecil untuk pemuliaan tanaman yang lebih fleksibel dan lebih tepat dibandingkan sebelumnya.
DNA setiap tanaman bagaikan informasi bernilai dari ratusan buku. Di sana terdapat gen untuk produktivitas, rasa, toleransi terhadap cuaca panas, bahkan ciri berbahaya atau beracun. Pemuliaan konvensional menghasilkan keturunan dengan beragam informasi acak dari buku-buku itu, mencakup informasi yang baik dan yang buruk.
Tetapi rekayasa genetika dapat memasukkan informasi hanya dari satu halaman buku, katakanlah berupa instruksi untuk menghasilkan protein yang membunuh serangga hama tetapi aman bagi manusia.
Hampir semua jagung dan kapas yang ditanam di Amerika mengandung gen jenis itu, mengurangi penggunaan insektisida setidaknya 50 juta kilogram per tahun.
Tetapi kritikus mencatat modifikasi lain, menambahkan gen untuk resistensi herbisida, meningkatkan penggunaan pembasmi gulma.
Menurut kutipan World Food Prize untuk Chilton, Van Montagu dan Fraley, 17 juta petani di dunia memproduksi tanaman GMO ini pada 2012, lebih dari 90 persen dari mereka adalah petani kecil di negara-negara berkembang.
Dikatakan, teknologi itu meningkatkan hasil, mengurangi penggunaan pestisida berbahaya, dan akan menjadi alat kunci untuk memberi makan sekitar sembilan milyar penduduk Bumi menjelang tahun 2050.
Hans Herren memenangkan hadiah itu pada 1995 untuk penggunaan metode alami dalam mengendalikan serangga hama yang mewabah di Afrika. Ia mengatakan, organisme hasil rekayasa genetika bukan cara terbaik memerangi kelaparan.
Menurut Herren, dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai dampak kesehatan, lingkungan dan sosial tanaman transgenik yang menyebar dengan cepat ke seluruh dunia.