Puluhan umat muslim penghuni kolong jembatan Guntur di kawasan Menteng Jakarta Pusat tetap menyambut suka cita perayaan Idul Fitri 1432 Hijriyah. Karena keterbatasan biaya mudik, mereka memilih tetap berada di Jakarta menunaikan puasa Ramadan, sekaligus merayakan Lebaran jauh dari kampung halaman.
Gema takbir yang berkumandang menandakan masuknya 1 Syawal atau Idul Fitri dan berakhirnya ibadah bulan suci Ramadan.
Sekitar pukul 21.00 WIB Selasa malam (30/8), VOA menyaksikan beberapa pemuda sekitar jembatan Guntur di kawasan Menteng Jakarta Pusat, cukup antusias ikut memeriahkan malam takbiran. Mereka bergantian menabuh bedug, yang terbuat dari drum bekas berukuran sedang, sambil mengumandangkan takbir. Sementara beberapa pemuda lainnya menyalakan petasan dan kembang api.
Beberapa dari pemuda itu merupakan penghuni kolong jembatan Guntur Menteng. Anto pemuda berusia sekitar 27 tahun asal Kuningan, Provinsi Jawa Barat mengatakan, ia bertahan di Jakarta merayakan lebaran, karena untuk mudik ongkosnya mahal.
“Setahu saya Bang ya, di sekitar sini ada dua kolong jembatan. Satu jembatan Guntur (Menteng) satu lagi jembatan Pasar Rumput (Manggarai). Yang lebih ramai sih jembatan Guntur sini, penghuninya sekitar 50- 60 orang,” ujar Anto.
Selain Anto, malam itu juga ada Rizky dan Irwan mereka berusia sekitar 17 tahun. Selain asal provinsi Jawa Barat, beberapa pemuda penghuni kolong jembatan Guntur berasal dari kota-kota di provinsi Jawa Tengah, Banten dan Sumatera. Mereka rata-rata telah lebih dua tahun menjadi penghuni kolong jembatan Guntur, Menteng Jakarta Pusat.
Sehari-hari beberapa pemuda penghuni kolong jembatan Guntur berprofesi sebagai pengamen, berjualan kopi asongan dan menjadi loper koran. Mereka juga mendapatkan tambahan penghasilan dari memulung sampah plastik dari Sungai Ciliwung yang mengalir di bawahnya.
Sementara Pak Ibrahim usia sekitar 50 tahun, seorang kepala keluarga memiliki lima anak yang ikut dengannya dan tinggal juga tinggal di kolong jembatan Guntur. Pak Ibrahim dan anak-anak tetap bahagia bisa berlebaran.
“Hidup ini memang sudah begitu, kita jalankan sedapat mungkin bagaimana baiknya. Kalau ada pembagian sembako dan zakat (dari kelurahan) kita diikutkan juga. Ada kebagian sedikit-sedikit, ya begitulah,” papar Pak Ibrahim.
Para penghuni kolong jembatan Guntur biasanya shalat Idul Fitri di masjid sekitar Menteng. Bang Dullah (40 tahun), juga penghuni kolong jembatan Guntur. Menurut Dullah, “Biar kata kita orang susah yang namanya menyambut hari raya kita, tetap kita sambut. Shalat Ied, Insya Allah kalau di sini di Masjid Sunda Kelapa Menteng yang dekat, bisa juga ke kawasan Tangkuban Perahu (Manggarai)."
Situasi kolong jembatan Guntur kini gelap gulita, menurut Anto dulu pernah ada aliran listrik sumbangan warga kelurahan Menteng, namun kini sudah diputus. Mereka tinggal di bilik-bilik berukuran kecil dengan dinding tripleks (kayu lapis) dan kardus.
“Dindingnya tripleks, alasnya karpet. Alas biasalah kardus, koran (bekas). Lemari pakaian paling kita ya pakai kardus,” kata Anto lagi.
Beberapa warga penghuni kolong jembatan Guntur Menteng merupakan anak-anak usia sekolah. Baru-baru ini sebuah yayasan sosial di Jakarta, telah menampung sekitar 20 anak-anak penghuni kolong jembatan Guntur Menteng untuk bersekolah.
Anak-anak yang ditampung yayasan tersebut rata-rata berusia kurang dari 12 tahun atau usia sekolah dasar. Warga penghuni kolong jembatan Guntur Menteng mengatakan mereka ingin ada guru sukarelawan yang bisa membimbing anak-anak mengaji dan belajar.
Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta raru-baru ini (bulan Juli 2011), warga miskin ibukota bertambah hingga lebih 50 ribu jiwa. Data tersebut adalah berdasarkan ukuran kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan dasar.
Sampai sekarang sebagai solusi, Pemerintah Provinsi DKI tengah merampungkan penyelesaian sekitar 17 tower rumah susun sederhana untuk merelokasi sekitar 1.000 kepala keluarga para penghuni kolong toll dan kolong jembatan di seluruh kawasan ibukota.