Bangladesh dan Myanmar sepakat bahwa semua pengungsi Rohingya akan dipulangkan ke Myanmar dalam waktu dua tahun. Namun, para pengungsi Rohingya di Bangladesh khawatir dengan keamanan mereka jika dipaksa pulang ke Myanmar.
Reporter VOA Zlatica Hoke melaporkan, kelompok minoritas yang umumnya Muslim ini menginginkan adanya jaminan bahwa mereka akan diperlakukan sama dengan kelompok-kelompok lain di Myanmar.
Sekitar satu juta orang Rohingya telah meninggalkan Myanmar sejak 1990-an dan hijrah ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan dan penindasan di negara yang mayoritas penduduknya Buddhis itu.
Tahun lalu, militer Myanmar menyerbu desa-desa Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar barat, sebagai pembalasan atas serangan pemberontak terhadap pihak berwenang setempat. Kekerasan terhadap warga sipil ini memaksa lebih dari setengah juta orang pergi mengungsi untuk menyelamatkan diri. Kebanyakan mereka bertahan hidup di kamp-kamp yang terletak dekat perbatasan di Bangladesh dan khawatir dengan keamanan mereka jika pulang ke Myanmar.
Noor Hossain, seorang pemimpin Muslim Rohingya, mengatakan, “Myanmar harus memberi kami kompensasi untuk semua orang Muslim yang mereka bunuh, untuk properti yang dijarah, dan untuk ladang dan ternak yang dihancurkan. Mereka harus mengembalikan rumah-rumah kami. Jika mereka dapat menunjukkan keadilan kepada kami, kami akan pulang. Kami, orang-orang Muslim, siap untuk pulang, tapi mereka harus memberi kami apa-apa yang menjadi hak kami.”
Myanmar tidak mengakui kelompok minoritas Rohingya sebagai warga negara sehingga mereka tidak memiliki status kewarganegaraan.
Masyarakat internasional mengecam pemerintah Myanmar karena kekerasan terhadap Rohingya yang menurut PBB tergolong pembersihan etnis.
Yunus Arman, seorang aktivis Rohingya, mengatakan, “Itulah alasan mengapa sangat sulit tinggal di Myanmar pada saat ini. Saya telah meminta pemerintah Bangladesh, PBB, dan organisasi-organisasi HAM untuk memperhatikan kami sebagai manusia di dunia. Myanmar bukan negara yang membahagiakan bagi kami.”
Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan, orang-orang Rohingya tidak boleh dipaksa pulang ke Myanmar, namun telah menawarkan diri untuk memfasilitasi kepulangan mereka.
Kevin J. Allen, juru bicara UNHCR mengatakan, "Kami ingin menawarkan dukungan teknis, kantor-kantor kami ke pemerintah Bangladesh dan pemerintah Myanmar, untuk memastikan kerangka kerja dibangun dengan semestinya sehingga suara para pengungsi didengar, keprihatinan mereka didengar dan mereka dapat pulang saecara sukarela dengan aman dan bermartabat.”
Allen lebih jauh mengatakan, ada tiga syarat yang dituntut para pengungsi untuk bisa pulang.
"Pertama, mereka perlu melihat resolusi atas status hukum mereka, atau status kewarganegaraan. Kedua, adanya situasi yang aman bagi mereka untuk pulang, Ketiga, adanya usaha rekonstruksi dan pembangunan sehingga mereka bisa pulang ke lingkungan di mana mereka dapat menikmati hak-hak mereka sepenuhnya."
Seorang juru bicara pemerintah Myanmar mengatakan kepada wartawan, orang-orang Rohingya bisa mendaftarkan diri untuk mendapat status kewarganegaraan setelah lolos proses pemeriksaan. Para pejabat Myanmar mengakui bahwa desa-desa Rohingya memang digeledah untuk memburu para pemberontak bersenjata dan dalam usahanya tersebut sejumlah warga sipil tewas. Meski demikian, mereka menolak investigasi independen di lokasi kejadian. [ab/uh]