Dua ratus tujuh puluh satu kepala daerah di Indonesia akan habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023 ini, sementara pemilu serentak baru akan digelar 2024 mendatang. Untuk menutupi kekosongan jabatan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tengah mempersiapkan penunjukkan pejabat kepala daerah untuk menggantikan mereka, baik di tingkat provinsi, maupun kabupaten/kota.
Menurut catatan Kemendagri dari 271 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya dalam waktu dekat ini, 101 kepala daerah akan habis masa jabatannya tahun 2022 ini, dan 170 lainnya pada tahun 2023.
Kemendagri membuka kesempatan pada prajurit TNI dan personel Polri yang masih aktif untuk mengisi kekosongan jabatan itu. Bahkan dari 49 pejabat kepala daerah yang sudah ditunjuk, salah seorang di antaranya masih berstatus aktif sebagai prajurit TNI, yaitu Brigjen TNI Andi Chandra Asaduddin sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku. Sebelumnya ada Komjen (Purnawirawan) Paulus Waterpauw yang ditunjuk sebagai Penjabat Gubernur Papua Barat, meskipun ia telah pensiun sebelum penunjukkan tersebut. Penunjukkan seperti ini langsung memicu polemik.
Penunjukkan Tidak Transparan dan Langgar Aturan Hukum
Diwawancarai VOA pertengahan pekan ini, Fadli Ramadhanil, dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan jabatan seperti kepala daerah seharusnya diisi oleh warga sipil untuk memenuhi supremasi sipil dalam kepemimpinan politik di Indonesia, dan penunjukkan sedianya berlangsung demokratis. Putusan MK No.67/PUU-XIX/2021 jelas mengingatkan pentingnya pemilihan secara demokratis dan transparan.
Fadli juga menyebut keberadaan UU Pilkada No.10/Tahun 2016 yang menyatakan bahwa penjabat bupati atau wali kota hanya dapat berasal dari jabatan pimpinan tinggi (JPT) pratama. Juga UU Tentara Nasional Indonesia No.34/Tahun 2004 yang menggarisbawahi bahwa prajurit yang hendak menduduki jabatan sipil harus terlebih dahulu mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif sehingga institusi TNI tetap berfungsi secara profesional, tanpa kepentingan politik, dan sekaligus menghormati supremasi sipil.
Diwawancara secara terpisah, Ardi Manto Adiputra dari Imparsial mengatakan pelanggaran beberapa aturan hukum dalam penunjukkan personel TNI/Polri dalam jabatan publik yang kosong itu rentan digugat. Ia mencontohkan situasi ketika seorang penjabat kepala daerah dari anggota TNI terlibat dalam perkara hukum. Apakah nantinya tidak akan menimbulkan konflik kepentingan, tanyanya.
Lebih jauh Ardi mengatakan guna mencegah kembalinya dwifungsi sebagaimana di era Orde Baru dulu, maka sebaiknya jabatan politik seperti gubernur, bupati atau walikota tidak diisi oleh pejabat militer atau kepolisian yang masih aktif.
Tinjau Ulang Penunjukkan Pejabat Kepala Daerah
Perludem dan Imparsial telah menyampaikan keberatan dan mendesak kepada Kemendagri untuk meninjau ulang penunjukan penjabat kepala daerah yang berasal dari anggota TNI-Polri aktif. Sejauh ini belum ada tanggapan. Namun Kemendagri tetap menilai penunjukkan itu merupakan bagian dari wewenang mereka. [iy/em]