Komisi Pemberantasan Korupsi telah menerima surat dari pengacara Setya Novanto yang menyatakan bahwa pria berusia 62 tahun tersebut tidak dapat hadir dalam pemeriksaan perdana KPK, kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, kepada wartawan, Rabu (15/11).
Febri mengatakan Setya Novanto sebagai pimpinan DPR akan lebih baik jika memenuhi panggilan hukum yang disampaikan KPK. Jika ada bantahan atau klarifikasi atas kasus ini, lebih baik disampaikan di depan penyidik karena hal itu akan mengikat dan bisa menjadi penyeimbang kalau dilakukan pemeriksaan.
Febri mengatakan komisi antirasuah itu belum berencana melakukan pemanggilan paksa terhadap Setya Novanto. Dia juga mengatakan proses penyidikan akan terus dilanjutkan, meski Setya Novanto menguji pasal prosedur pemeriksaan tersangka dalam Undang-undang KPK ke Mahkamah Konstitusi
“Saat ini KPK masih fokus pada proses pemeriksaan saksi dan proses pemeriksaan tersangka. Tentu kita pastikan penanganan kasus KTP elektronik ini akan berjalan terus, meskipun ada sejumlah pelaporan-pelaporan atau tuduhan-tuduhan lain yang disampaikan kepada KPK,” ucap Febri.
Ketua DPR Setya Novanto mengatakan bahwa alasan mangkir dari pemeriksaan itu, selain sibuk dengan berbagai tugas negara, juga karena ia sedang mengajukan permohonan uji materi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi.
Kuasa Hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi menilai Pasal 46 ayat 1 dan 2 dalam Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi tentang mekanisme pemeriksaan tersangka berlawanan dengan konstitusi Pasal 20 A dalam Undang-undang Dasar 1945 tentang impunitas anggota DPR.
Menurut dia, berdasarkan UU MD3, penegak hukum harus meminta izin tertulis dari presiden sebelum memanggil dan memeriksa anggota DPR.
“Karena pasal 46 antaranya dalam penyidikan dan penyelidikan, KPK tidak bisa memanggil orang yang diselidiki, maupun disidik dengan mengesampingkan undang-undang,” kata Fredrich.
Peneliti Forum Masyarakat Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakanizin presiden tidak diperlukan KPK dalam memeriksa Setya Novanto.
“Di UU MD3, walaupun pasal persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan sudah dibatalkan oleh Mahkamah dan Konstitusi dan diganti oleh persetujuan tertulis oleh presiden, tetapi Ayat 3, Pasal 245 terkait dengan pengecualian untuk persetujuan tertulis itu, ditujukan untuk kasus OTT (operasi tangkap tangan) misalnya dan kasus terkait pidana khusus. Saya kira urusan dengan KPK itu selalu berkaitan dengan pidana khusus yaitu pidana korupsi,” kata Lucius.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan uji materil atas Undang-undang KPK yang dilakukan Setya Novanto itu sah-sah saja. Tetapi ia heran, mengapa uji materil itu baru dilakukan saat ini ketika terkena kasus dugaan korupsi KTP elektronik.
“Itu yang namanya usaha untuk bebas denga cara bermacam-macam. Selama hukum membolehkan kita tidak boleh melarangnya,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sejak 31 Oktober, KPK menetapkan kembali Setya Novanto, yang juga Ketua Umum Partai Golkar, sebagai tersangka kasus mega korupsi yang merugikan negara hingga 2,3 trilliun rupiah. KPK memastikan mempunyai alat bukti yang cukup untuk menjerat Setya. Di sejumlah kesempatan, Setya membantah keterlibatannya dalam korupsi KTP elektronik.