Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto menolak panggilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik atau e-KTP.
Dalam surat penolakan yang dikirimkan oleh Sekretariat Jenderal DPR, Ketua Umum Partai Golongan Karya itu beralasan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi pada 2015, harus ada izin tertulis dari presiden untuk pemeriksaan tiap anggota DPR.
Pelaksana tugas Sekretaris Jenderal DPR Damayanti mengakui telah menandatangani surat penolakan Setya Novanto sesuai rekomendasi dari Badan Keahlian DPR. Dia mengatakan pengiriman surat penolakan pemeriksaan terhadap Setya Novanto adalah hal biasa.
"Pak Ketua (Ketua DPR Setya Novanto) tidak bisa hadir karena ada putusan MK yang menyatakan demikian. Selesai. Kita buat suratnya, saya kirimin. Sudah, nggak ada masalah. Udah itu aja," ujar Damayanti.
Setya Novanto kembali mangkir untuk kedua kalinya untuk diperiksa KPK sebagai saksi atas tersangka Anang Sugiyana dalam kasus korupsi KTP elektronik. Dalam panggilan pertama, Setya tidak datang dengan alasan sedang menjalankan tugas negara. Di panggilan kedua, Setya Novanto mangkir dengan mengirim surat penolakan melalui Sekretariat Jenderal DPR.
Menanggapi penolakan Setya Novanto tersebut, ahli hukum tata negara Refly Harun menekankan putusan Mahkamah Konstitusi dua tahun lalu itu tidak untuk tindak pidana khusus, seperti korupsi. Sehingga pemeriksaan Setya Novanto tidak memerlukan izin dari Presiden Joko Widodo.
Refly sebaliknya meminta sebagai pejabat negara Setya Novanto mestinya memberikan contoh yang baik.
"Kan ini pemeriksaan. Seharusnya sebagai warga negara, Ketua DPR memberikan contoh yang baik, memberikan ada yang namanya kewajiban moral. Kalau pun ini dianggap ada izin dan kita tahu izin itu tidak perlu, kewajiban moralitas bagi pejabat publik adalah datang ke KPK untuk memberikan keterangan," tukas Refly.
Dalam perkembangan terbaru kasus korupsi KTP elektronik, sejak Senin (6/11) beredar Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas nama Setya Novanto. Menanggapi hal tersebut, juru bicara KPK Febri Diansyah menyatakan KPK dalam kasus ini memang sudah mengeluarkan surat perintah penyidikan baru akhir Oktober lalu.
"Dan ada nama tersangka dan terkait dengan informasi lain yang lebih teknis, misalnya soal SPDP, atau soal nama tersangka, atau peran-peran yang lain, kami belum bisa konfirmasi hal itu hari ini. Tapi kami pastikan KPK akan terus berjalan menangani kasus KTP elektronik," kata Febri.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai jika benar Setya Novanto menjadi tersangka, maka Setya harus ta’at hukum. Dia menegaskan KPK tidak perlu meminta izin Presiden Joko Widodo untuk memeriksa Setya.
Ketua DPR Setya Novanto dalam sejumlah kesempatan selalu membantah keterlibatannya dalam kasus korupsi e-KTP. Salah satu kuasa hukum Setya Novanto, Sandi Kurniawan mengatakan jika KPK ingin menetapkan kembali Ketua DPR itu sebagai tersangka maka lembaga anti rasuah itu harus memiliki bukti baru sebagaimana putusan hakim praperadilan Setya Novanto beberapa waktu lalu.
"Boleh melakukan penyidikan kembali asal ada bukti baru, itu menjadi catatan khusus," tutur Sandi.
KPK pernah menetapkan Setya sebagai tersangka pada 17 Juli lalu. Tapi hakim tunggal sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar, membatalkan status itu pada 29 September lalu.
Meski demikian, amunisi KPK untuk menjerat Setya terus bertambah. Petunjuk tentang keterlibatan Setya mencuat pada awal bulan lalu pada laporan Biro Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat yang menelusuri aset mendiang Johannes Marliem, bos Biomorf Lone, penyedia sistem perekam biometrik untuk e-KTP.
Di Jakarta, persidangan perkara e-KTP dengan terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong pun terus mengurai peran Setya ketika proyek ini dibahas di DPR pada 2010-2011. [fw/al]