Sejak 6 November hingga 7 Desember 2019, sedikitnya 13 ekor penyu langka jenis sisik (Eretmochelys imbricata) dan belimbing (Dermochelys coriacea), ditemukan mati di perairan pantai Kota Bengkulu.
Bangkai satwa langka tersebut ditemukan tersebar mulai dari perairan Pantai Panjang hingga di kawasan Pulau Enggano yang berjarak 156 kilometer dari Kota Bengkulu. Kematian 13 ekor penyu secara beruntun itu menjadi yang terbanyak di Bengkulu sepanjang 2019.
Penyebab kematian penyu-penyu langka tersebut belum diketahui pasti. Namun, di antara ke-13 penyu tersebut tersebut ditemukan sampah plastik, puntung rokok, hingga karet dalam bagian pencernaannya.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu, Donal Hutasoit saat dihubungi VOA mengatakan pihaknya masih menunggu hasil uji laboratorium dari Balai Besar Penelitian Veteriner di Bogor, terkait penyebab kematian penyu-penyu tersebut.
"Kemarin dengan kematian itu kami sudah turunkan dokter, sudah diautopsi. Penyebabnya itu belum (diketahui). Kadang dapat sampah di dalam. Tapi belum terlalu pasti sehingga kami ingin juga autopsi mikroskopis,” kata Donal, Selasa (10/12).
Untuk keperluan autopsi itulah sampel dikirim ke Bogor karena Bengkulu tidak memiliki alat yang lengkap, tambah Donal.
Dokter hewan BKSDA Bengkulu, Yanti mengatakan pihaknya telah melakukan nekropsi (bedah bangkai) terhadap penyu-penyu yang mati tersebut. BKSDA Bengkulu juga melakukan post mortem secara mikroskopis, hasil pemeriksaan sementara saluran pencernaan dan makanan yang dimakan penyu tergolong normal.
"Karena kondisi itu kita perlu melakukan tindak lanjut dengan pemeriksaan laboratorium untuk penegakan diagnosa. Biasanya kalau post mortem dilakukan dengan organ-organ yang tidak lisis (hancur)," ucap Yanti kepada VOA.
Namun Yanti tak menampik di antara 13 penyu yang mati tersebut ditemukan sampah dalam tubuh satwa pengembara samudera tersebut. Sampah plastik, karet, dan puntung rokok didapati dari dalam tubuh penyu.
"Itu nekropsi yang dilakukan oleh Universitas Bengkulu jadi kebetulan ada dua pihak yang melakukan. Untuk kematian pertama dilakukan jurusan Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu. Penyu yang kami nekropsi itu tidak ditemukan sampah, jadi kondisinya normal. Pakan yang di dalam pencernaan normal," ungkapnya.
Belum diketahui pasti penyebab kematian penyu-penyu tersebut menimbulkan banyak asumsi di kalangan masyarakat. Salah satunya terkait dengan menurunnya kualitas air dan laut di Bengkulu diduga akibat dari limbah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di Teluk Sepang.
Namun, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Provinsi Bengkulu, Sorjum membantah kualitas air dan laut di wilayahnya tercemar akibat PLTU tersebut. Pasalnya, PLTU tersebut masih tahap konstruksi, sehingga belum ada kegiatan. Baru beberapa uji coba.
Sedangkan terkait sampah, diakui Sorjum masih banyak ditemukan di sepanjang garis pantai.
"Kalau sampah rumah tangga banyak di pantai kita relatif cukup banyak. Kondisi air dari hasil laboratorium masih di bawah ambang batas semua. Kalau kualitas laut secara keseluruhan belum ada kami teliti karena laboratorium di sini belum siap untuk itu," ujarnya kepada VOA.
Selain pencemaran lingkungan penyebab kematian penyu-penyu tersebut juga bisa disebabkan oleh faktor lain seperti pukat (jaring besar) yang digunakan para nelayan. Penyu yang terperangkap dalam pukat nelayan bisa terluka dan dapat menyebabkan kematian. Namun laporan ini masih didalami BKSDA Bengkulu untuk verifikasi.
Seperti diketahui, penyu masuk dalam daftar merah spesies yang terancam punah membuat satwa langka dan dilindungi itu tak bisa hidup dengan tenang. Ancaman dari perubahan iklim, pembuangan sampah di laut, perdagangan daging dan telur, sampai menjadi santapan manusia menghantui satwa pengembara samudera tersebut.
Indonesia sendiri adalah rumah bagi 6 dari 7 spesies penyu di dunia yang tersebar di berbagai perairan Nusantara. [aa/ft]