Perang yang berkecamuk di media sosial di Afghanistan semakin memanas dengan kampanye yang diluncurkan oleh aktivis kebebasan berbicara dengan menggunakan Twitter dan Facebook. Kampanye ini digunakan untuk melawan kebingungan di tengah klaim-klaim yang dibuat NATO dan Taliban, sekaligus pengekangan pemerintah atas media.
Pasukan asing dan pemberontak selama bertahun-tahun telah berselisih di Twitter, sementara para jurnalis berdebat dengan pemerintah mengenai kebebasan pers dan undang-undang media baru.
“Media sosial merupakan alat baru untuk menyebarkan informasi tanpa campur tangan pemerintah, panglima perang atau Taliban,” ujar Abdul Mujeeb Khalvatgar, direktur eksekutif kelompok advokasi media Afghanistan, Nai, saat meluncurkan kampanye barunya pada Minggu (22/7).
“Namun saat ini ada masalah dengan audiens,” ujar Khalvatgar, mengacu pada terbatasnya pemakai media baru di negara yang dilanda kemiskinan dan peperangan tersebut. Hanya dua juta orang di antara 30 juta populasi Afghanistan yang memiliki akses Internet.
Masyarakat Afghanistan secara antusias merangkul tumbuhnya akses terhadap telepon dan komunikasi sejak digulingkannya pemerintah Taliban oleh pasukan yang didukung Amerika Serikat pada 2001. Namun sebagian besar masyarakat hidup di rumah-rumah yang sederhana, terkadang dibangun dari batu bata yang terbuat dari lumpur. Hanya satu dari dua rumah mendapat penerangan.
Kelompok Taliban melarang keras penggunaan Internet untuk menghalangi masyarakat melihat materi yang mereka anggap sebagai vulgar, tidak bermoral dan anti Islam. Namun kelompok itu sekarang merupakan salah satu dari sekian banyak kelompok yang menggunakan jaringan sosial untuk berkomunikasi dan mempromosikan pesan-pesan mereka.
Meski warung Internet bermunculan di daerah perkotaan, dengan pelanggan utama kaum muda, penggunaan media sosial terbatas terutama untuk melawan norma-norma budaya yang konservatif seperti pembatasan hak-hak perempuan, sesuatu yang lebih sulit dikonfrontasi oleh media arus utama tanpa menimbulkan serangan balik.
“Jika media tradisional lemah, di situlah media sosial berperan,” ujar Khalvatgar.
Nai, ujarnya, meluncurkan kampanye untuk mendorong pejabat-pejabat pemerintah, aktivis dan organisasi donor untuk memperluas penggunaan media sosial dan melawan konsepsi negative dari Internet di antara sebagian masyarakat Afghanistan.
Beberapa keluarga di negara itu melarang perempuan memiliki akun di media sosial berdasarkan interpretasi mereka akan Islam atau karena takut mencemari kehormatan keluarga. Para perempuan yang memiliki akun-akun tersebut seringkali menahan diri untuk menampilkan foto diri atau nama mereka sebenarnya.
“Facebook populer di kalangan perempuan, karena mereka bisa mendapat informasi dan mengekspresikan pendapat mereka, sesuatu yang dimungkinkan oleh pengaturan privasi di jaringan media sosial tersebut,” ujar Zahra Furmoly, 23, penasihat di Nai.
Dan di saat pemerintah sedang membahas undang-undang media untuk memperkuat cengkeraman atas media Afghan yang baru tumbuh namun cukup semarak, Nai berharap media sosial dapat membantu mengamankan kebebasan politik dan sosial, seperti yang terjadi dalam gelombang pemberontakan di Timur Tengah.
“Jika kita meningkatkan jumlah pengguna media sosial, kita dapat meningkatkan penyebaran pengetahuan. Dengan memberi ruang bagi masyarakat untuk berbicara dalam jaringan sosial, Anda memberi mereka harapan,” ujar Khalvatgar. (Reuters/Miriam Arghandiwal)
Pasukan asing dan pemberontak selama bertahun-tahun telah berselisih di Twitter, sementara para jurnalis berdebat dengan pemerintah mengenai kebebasan pers dan undang-undang media baru.
“Media sosial merupakan alat baru untuk menyebarkan informasi tanpa campur tangan pemerintah, panglima perang atau Taliban,” ujar Abdul Mujeeb Khalvatgar, direktur eksekutif kelompok advokasi media Afghanistan, Nai, saat meluncurkan kampanye barunya pada Minggu (22/7).
“Namun saat ini ada masalah dengan audiens,” ujar Khalvatgar, mengacu pada terbatasnya pemakai media baru di negara yang dilanda kemiskinan dan peperangan tersebut. Hanya dua juta orang di antara 30 juta populasi Afghanistan yang memiliki akses Internet.
Masyarakat Afghanistan secara antusias merangkul tumbuhnya akses terhadap telepon dan komunikasi sejak digulingkannya pemerintah Taliban oleh pasukan yang didukung Amerika Serikat pada 2001. Namun sebagian besar masyarakat hidup di rumah-rumah yang sederhana, terkadang dibangun dari batu bata yang terbuat dari lumpur. Hanya satu dari dua rumah mendapat penerangan.
Kelompok Taliban melarang keras penggunaan Internet untuk menghalangi masyarakat melihat materi yang mereka anggap sebagai vulgar, tidak bermoral dan anti Islam. Namun kelompok itu sekarang merupakan salah satu dari sekian banyak kelompok yang menggunakan jaringan sosial untuk berkomunikasi dan mempromosikan pesan-pesan mereka.
Meski warung Internet bermunculan di daerah perkotaan, dengan pelanggan utama kaum muda, penggunaan media sosial terbatas terutama untuk melawan norma-norma budaya yang konservatif seperti pembatasan hak-hak perempuan, sesuatu yang lebih sulit dikonfrontasi oleh media arus utama tanpa menimbulkan serangan balik.
“Jika media tradisional lemah, di situlah media sosial berperan,” ujar Khalvatgar.
Nai, ujarnya, meluncurkan kampanye untuk mendorong pejabat-pejabat pemerintah, aktivis dan organisasi donor untuk memperluas penggunaan media sosial dan melawan konsepsi negative dari Internet di antara sebagian masyarakat Afghanistan.
Beberapa keluarga di negara itu melarang perempuan memiliki akun di media sosial berdasarkan interpretasi mereka akan Islam atau karena takut mencemari kehormatan keluarga. Para perempuan yang memiliki akun-akun tersebut seringkali menahan diri untuk menampilkan foto diri atau nama mereka sebenarnya.
“Facebook populer di kalangan perempuan, karena mereka bisa mendapat informasi dan mengekspresikan pendapat mereka, sesuatu yang dimungkinkan oleh pengaturan privasi di jaringan media sosial tersebut,” ujar Zahra Furmoly, 23, penasihat di Nai.
Dan di saat pemerintah sedang membahas undang-undang media untuk memperkuat cengkeraman atas media Afghan yang baru tumbuh namun cukup semarak, Nai berharap media sosial dapat membantu mengamankan kebebasan politik dan sosial, seperti yang terjadi dalam gelombang pemberontakan di Timur Tengah.
“Jika kita meningkatkan jumlah pengguna media sosial, kita dapat meningkatkan penyebaran pengetahuan. Dengan memberi ruang bagi masyarakat untuk berbicara dalam jaringan sosial, Anda memberi mereka harapan,” ujar Khalvatgar. (Reuters/Miriam Arghandiwal)