Filipina telah mencatat sekitar 1.800 pembunuhan terkait narkoba sejak Presiden Rodrigo Duterte menjabat tujuh minggu lalu dan meluncurkan perang terhadap narkoba. Jumlah ini jauh lebih banyak daripada yang diyakini sebelumnya, menurut data polisi.
Kepala Kepolisian Nasional Filipina Ronald Dela Rosa mengatakan kepada komite Senat hari Senin (22/8) bahwa 712 pedagang dan pengguna narkoba telah dibunuh dalam operasi-operasi polisi sejak 1 Juli.
Polisi juga sedang menyelidiki 1.067 pembunuhan terkait narkoba lainnya, menurut Dela Rosa, tanpa memberikan rincian. Hari Minggu, Duterte mengecam PBB karena mengkritik gelombang kematian tersebut.
Amerika Serikat, sekutu dekat Filipina, mengatakan “sangat prihatin” dengan laporan-laporan tersebut, dan juru bicara Departemen Luar Negeri AS Mark Toner mendesak pemerintahan Duterte untuk memastikan otoritas penegak hukum mematuhi norma-norma hak asasi manusia.
Operasi pemberantasan peredaran narkoba dan kecaman sengit dari Duterte terhadap AS sejak menjadi presiden memunculkan dilema bagi Washington, yang telah berupaya memperkuat persatuan di antara sekutu dan mitra di Asia dalam menghadapi China yang semakin agresif, terutama di Laut China Selatan yang strategis.
Toner mengatakan AS terus mengemukakan keprihatinan mereka kepada pemerintah Filipina atas isu hak asasi manusia dan pembunuhan tanpa peradilan, namun AS juga berkomitmen terhadap hubungan bilateral dan penguatan hubungan tersebut. [hd]