Gema takbir tidak berkumandang lantang di luar, hanya terdengar saat warga menginjakkan kaki ke aula kampus Northern Virginia Community College, yang tahun ini menjadi lokasi sholat Idul Fitri bagi diaspora Indonesia yang bermukim di Washington, D.C., dan sekitarnya.
"Saya kuliah di sini, jadinya sendiri. Tidak ada keluarga. Tidak ada ibu saya yang biasanya masak rendang," ujar Nisa Usman, seorang mahasiswi Indonesia di AS ini.
"Idul Fitri di sini sepi. Biasanya kan, ada petasan, ada beduk saat malam takbiran," timpal Astrini Bianindita, seorang mahasiswi lainnya.
Suasana khusyuk dan khidmat sholat Idul Fitri terasa di sela-sela keharuan dan kebahagiaan warga yang kembali dapat menjumpai Idul Fitri di tanah rantau ini.
"Kita semua jauh dari keluarga. Tapi di sini bersama orang Indonesia, rasanya seperti di Indonesia," ujar Anis Morrisette, seorang warga Indonesia.
Walaupun sholat Idul Fitri ini dilaksanakan untuk diaspora Indonesia, ada pula sejumlah Muslim Amerika lainnya.
"Islam itu universal. Jadi penting bagi kita untuk melihat bagaimana budaya-budaya lain merayakan Ied," ujar Lola Al-Uqdah, seorang Muslim Amerika dari negara bagian lain yang sedang mengunjungi keluarga di wilayah Washington, D.C.
Masalah khas bagi umat Muslim, kelompok minoritas di negara ini, adalah keterbatasan lokasi sholat.
Setiap tahunnya, panitia harus berlomba memesan lokasi sholat, bahkan dari setahun sebelumnya. Meski diaspora Muslim Indonesia sudah memiliki masjid sendiri, tapi masjidnya tidak cukup besar untuk menampung jumlah jemaah sholat Idul Fitri setiap tahunnya.
Apalagi mengingat semakin berkembangnya jumlah Muslim di kawasan ibukota Amerika ini.
Tahun ini, panitia berhasil mengumpulkan jumlah zakat hampir $26 ribu (sekitar Rp 347 juta). Jumlah ini hampir dua kali lipat tahun lalu.