Salah satu hambatan untuk menyepakati perjanjian iklim global di Paris adalah adanya pandangan di PBB sejak puluhan tahun lalu yang membagi dunia ke dalam dua kubu, negara-negara maju yang memikul tanggung jawab keuangan untuk perubahan iklim dan negara-negara berkembang yang tidak perlu bertanggung jawab.
Dari awal, salah satu masalah terbesar adalah perpindahan uang dari negara-negara kaya yang menghasilkan sebagian besar emisi gas rumah kaca dunia sejak revolusi industri ke negara-negara berkembang yang membutuhkan dana membantu mengembangkan ekonomi dengan emisi karbon rendah di masa depan.
Tapi rincian rencana ini berasal dari tahun 1992 ketika banyak negara sepakat pada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB; banyak yang telah berubah selama dua dekade terakhir, termasuk peningkatan pesat ekonomi Asia.
Saat itu, ekonomi China masih sepertiga ekonomi mereka saat ini dan emisi gas rumah kaca negara tersebut tumbuh hampir tiga kali lipat antara tahun 1990 dan sampai hari ini, menurut Badan Energi Internasional atau International Energy Agency.
Dan sampai setahun terakhir ini, ledakan energi berkepanjangan meningkatkan ekspor negara Teluk.
Akibatnya, negara-negara maju menganggap perlu diadakan penghitungan ulang. Mereka ingin kesepakatan iklim baru di Paris untuk mengakui keragaman pilihan “negara donor” untuk mengatasi biaya yang disebabkan oleh dampak-dampak iklim dan akan berkontribusi mengumpulkan dana $100 miliar per tahunnya hingga tahun 2020. Dana tersebut juga diharapkan bertambah pada tahun-tahun berikutnya untuk membantu negara-negara berkembang tumbuh dan mengatasi dampak perubahan iklim.
“Definisi negara berkembang tidak sesuai dan mengada-ngada,” ujar Paul Bledsoe, mantan penasihat energi dan iklim Bill Clinton, mantan presiden AS.
Rumania vs Arab Saudi
Salah seorang sumber Uni Eropa mengatakan tidak adil jika negara seperti Rumania yang menduduki ranking 52 berdasarkan kekayaan per kapita tahun ini dan dengan produk domestik bruto delapan kali lebih besar daripada tahun 1992, harus membayar, sedangkan Arab Saudi, yang berada di posisi sembilan, satu tingkat di bawah Amerika Serikat tidak harus membayar.
Tidak mungkin, ujar mereka yang telah naik ke daftar negara kaya sejak 1992.
“Saya akan mengatakan dengan jelas: membiayai iklim adalah peran murni negara-negara kelas A,” ujar Menteri Energi Saudi Arabia Sultan Ahmed Al Jaber, merujuk pada negara-negara yang berada dalam daftar negara kaya.
Uni Emirat Arab menduduki peringkat negara terkaya kelima berdasarkan pendapatan kapita menurut Bank Dunia.
“Kami ingin melihat negara berkembang memenuhi janji mereka untuk menyediakan dana dan membantu berbagai mekanisme transfer teknologi, adaptasi dan pembangunan kapasitas. Semua ini sudah disetujui beberapa tahun lalu.”
Tujuh dari 10 negara maju berdasarkan PDB per kapita yang diidentifikasi oleh Bank Dunia dikategorikan sebagai negara berkembang dalam negosiasi iklim PBB dan tidak mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan bantuan iklim pada negara berkembang.
Pelobi dari 195 negara mencoba untuk menyetujui kesepakatan di Paris untuk memperlambat perubahan iklim dengan mengalihkan ekonomi global dari ketergantungan yang terus-menerus pada bahan bakar fosil. Mereka memiliki waktu hingga Jumat untuk mencapai kesepakatan.
Para pelobi bergulat untuk merevisi masalah "perbedaan" antara negara-negara kaya dan miskin, yang tidak hanya menghambat diskusi terkait pembiayaan iklim tetapi aspek-aspek lain dari kesepakatan yang diharapkan tercapai.
Walaupun Uni Emirat Arab dan China, beberapa di antara negara-negara lainnya, telah memberikan kontribusi sukarela untuk membiaya energi bersih di beberapa negara yang lebih miskin, mereka menolak gagasan keharusan menyumbang untuk mencapai target $100 miliar yang ditetapkan tersebut.
Saudi Arabia melalui program bantuan energi terbarukan telah membiayai proyek-proyek energi terbarukan dengan sumber matahari di Fiji dan Afghanistan untuk proyek pembangkit listrik bertenaga air mini di Argentina, kata Al Jaber. [rn/dw]