Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara serentak menutup proses pendaftaran Bakal Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk Pemilu 2019 pada Kamis malam. Pendaftaran dilakukan di KPU setiap provinsi, dimana setiap daerah akan diwakili oleh empat anggota DPD terpilih.
Komisioner KPU DIY, Farid Bambang Siswantoro mengatakan, empat anggota DPD periode 2014-2019, memutuskan mendaftarkan kembali untuk mewakili daerah itu. Mereka adalah GKR Hemas, Afnan Hadikusumo, Hafidz Asrom dan Cholid Mahmud. Setidaknya akan ada 12 calon lain yang ikut bersaing dengan keempatnya dalam Pemilu tahun depan.
“Kami akan lakukan penelitian administrasi dan verifikasi dukungan mulai 27 April sampai dengan 19 Juni. Hasilnya, akan kami sampaikan kepada seluruh pendaftar itu sebelum 1 Juli. Setelah itu, sesuai ketentuan, pendaftaran calon akan dibuka mulai 9-11 Juli 2018,” kata Farid Bambang.
Meski sering diragukan perannya dalam peta politik nasional, menurut anggota DPD asal DIY, Afnan Hadikusumo, lembaga ini tetap berperan penting. Salah satu peran utamanya adalah menjadi jembatan penghubung kepentingan daerah dan pemerintah pusat. Selain itu, kata Afnan, mereka terlibat dalam evaluasi terhadap peraturan daerah (Perda) dan perbaikan konsep pembangunan dalam kerangka hubungan pusat dan daerah.
“Memang kita merasakan bahwa peran DPD itu belum maksimal karena regulasi sangat membatasinya. Oleh karena itu, selama masa periode tugas saya sampai saat ini, saya selalu memperjuangkan adanya penambahan kewenangan DPD RI. Ada amandemen UUD 1945, juga Judicial Review ke MK mengenai UU MD 3, tetapi amandemen itu belum berhasil,” kata Afnan Hadikusumo.
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik M Pratama kepada VOA mengaku, posisi DPD agak berbeda. Fungsinya tidak seperti senator di Amerika Serikat, yang mewakili negara bagian di Senat dengan kekuatan politik yang maksimal. Di Indonesia, kata Heroik, dalam pembahasan sebuah undang-undang misalnya, DPD hanya bisa mengusulkan dan ikut membahas, tetapi tidak memiliki hak suara.
“Ini seperti soft bicameralism. Memang ada dua kamar, ada DPR dan DPD, namun sayangnya fungsi senatnya ini tidak sekuat di negara yang menganut dua kamar, seperti Amerika Serikat,” kata Heroik.
Perbedaan peran itu didasari juga oleh perbedaan bentuk negara. Amerika Serikat adalah negara federal yang masing-masing negara bagian mengirimkan dua senator terpilihnya. Sedangkan Indonesia adalah negara kesatuan, dimana daerah berperan karena proses desentralisasi kewenangan. Heroik menyarankan adanya upaya hukum guna memperjelas fungsi DPD di masa depan.
“DPD ini perannya strategis sebenarnya, sebagai bentuk representasi politik berbasis wilayah, karena masing-masing provinsi ada empat perwakilan dan menjadi corong untuk menyuarakan kepentingan daerah di tingkat nasional. Menurut saya lebih baik disempurnakan sekalian fungsi dua kamar ini, lebih dipertegas fungsi apa yang akan dibawa oleh DPD,” kata Heroik M Pratama.
Idealnya, kata Heroik, kontestasi DPD diikuti hanya oleh calon perseorangan yang bebas dari kepentingan politik. Namun dalam praktiknya, pengaruh partai dan organisasi kemasyarakatan sulit untuk dielakkan.
Afnan Hadikusumo, sebagai contoh, adalah anggota DPD yang secara resmi didukung oleh organisasi Muhammadiyah DIY. Sedangkan Hafidz Asrom tahun 2014 maju dengan restu dari Nahdlatul Ulama. Namun, kata Afnan, tidak ada hutang budi politik dalam hubungan semacam ini.
“Organisasi pendukung tidak menuntut apapun, malah memberi masukan berbagai persoalan masyarakat, terkait program maupun legislasi. Yang sudah kami lakukan bersama misalnya upaya terkait revisi UU Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Kita juga berdiskusi dalam peninjauan ulang UU Sumber Daya Alam, revisi UU Migas, dan revisi UU Minerba,” tambah Afnan.
Pakar Komunikasi dan Marketing Politik, Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM, Nyarwi Ahmad PhD kepada VOA mengaku, peran DPD sebagai lembaga belum begitu terasa di masyarakat. Dalam proses politik pembentukannya, DPD sering dianggap hanya mewakili wilayah tanpa menyinggung warga negara di dalamnya. Beda dengan senator di Amerika Serikat yang mewakili wilayah sekaligus pemilih di setiap negara bagian.
“Agar lebih terasa perannya, pimpinan dan anggota DPD harus bisa menunjukkan kepada publik, apa yang sebenarnya mereka wakili. Mengapa keberadaan mereka penting dan dibutuhkan dalam sistem politik di Indonesia? Dan mengapa kerja-kerja mereka, sebagaimana yang diamanahkan UUD 45 hasil amandemen, sangat dibutuhkan dalam mengawal kepentingan publik,” ujar Nyarwi Ahmad.
DPD didorong harus mampu menjadikan isu-isu terkait wilayah, warga negara, dan sumber daya alam daerah sebagai isu utama. DPD, tambah Nyarwi Ahmad, harus bisa mewarnai setiap kebijakan publik dan politik yang dirumuskan oleh aktor-aktor politik, khususnya DPR.
Karena peran pentingnya, Nyarwi Ahmad juga mengusulkan jika ada amandemen lagi terhadap UUD 45, maka DPD harus diberi kewenangan lebih. Hak itu misalnya adalah hak veto terkait regulasi dan kebijakan politik yang bersinggungan atau mengatur kewilayahan, seperti misalnya pemekaran daerah. Juga untuk sektor sumber daya alam seperti tambang serta lingkungan.
Afnad Hadikusumo pun memiliki permintaan yang sama. “Berilah DPD RI kewenangan lebih besar, terutama ikut memutuskan undang-undang, dan juga berkaitan dengan program-program pemerintah. Dua hal itu saja sudah bagus sekali,” ungkapnya. [ns/lt]