Setelah menikah pada usia 22 tahun, Marwa Raed Taha tidak mempersoalkan masa depannya sebagai ibu rumah tangga. Namun seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa dirinya mulai tertekan.
Membesarkan kedua putrinya selalu menjadi prioritasnya, tetapi ia juga menyadari bahwa dirinya mempunyai ambisi sendiri, kata Taha.
Setelah berbulan-bulan berdebat tentang mengapa suaminya tidak membolehkannya keluar rumah untuk bekerja, suami Taha akhirnya setuju untuk bercerai.
"Orang memandang dengan heran. Untuk waktu yang lama, orang-orang tidak tahu tentang ini, sehingga awalnya saya bisa melupakannya. Dan hingga kini tidak semua orang tahu, beberapa teman, tetangga, dll. Tetapi orang-orang yang dekat dengan saya tahu, seperti paman saya. Mereka mengatakan kepada saya: 'Bagaimana kamu bisa mengambil keputusan ini?' Banyak yang menyalahkan saya. 'Kamu harus di rumah saja, menanggung situasi,'" kata Marwa.
Sesuatu yang semula tidak berani Taha katakan kepada keluarga dan teman-temannya.
“Masyarakat di sini tidak punya belas-kasihan sama sekali. Tidak ada ampun. Bukan hanya masyarakat patriarki, bukan hanya itu, tetapi bahkan hak-hak yang kita miliki secara teori, sebagai orang yang menjadi bagian dari masyarakat, itu tidak benar-benar diberikan kepada kami," ujarnya.
"Mereka mengatakan kepada saya: 'Bagaimana kamu bisa mengambil keputusan ini?'" Taha ingat kerabatnya mengatakan hal itu setelah ia bercerai.
Memberontak melawan stigma yang menurutnya menyebabkan dirinya menderita karena menjadi ibu tunggal sebagai pilihan sendiri di Irak, Taha menerima tantangan itu dan merawat kedua putrinya serta mengejar impiannya secara langsung. Ia mendapat pekerjaan di salah satu direktorat kelistrikan Bagdad. Tugasnya memperbaiki peralatan listrik, sesuatu yang dianggap banyak orang, pekerjaan untuk pria.
"Jadi saya bekerja di direktorat kelistrikan, pertama dengan gaji harian, tapi kemudian saya dibayar berdasarkan kontrak. Namun pekerjaan ini tidak memberi saya penghasilan tetap karena saya tidak mendapat gaji. Maka saya putuskan untuk mengembangkan diri dan menciptakan peluang kerja yang sesuai dengan ketrampilan saya, Marwa Taha, dan yang saya sukai sehingga saya bisa bekerja dan mendapat penghasilan. Dan itu adalah 'GG', proyek daur ulang sampah saya," paparnya.
Ia ingat orang-orang menyarankan seharusnya ia melakukan pekerjaan kantor atau membuka restoran sebagai gantinya. Namun Taha, lulusan teknik otomasi dari Universitas Bagdad, memutuskan kalau ia lebih baik melakukan sesuatu yang sejalan dengan studinya. Mampu menghidupi putrinya tetap menjadi perjuangan, kata Taha kepada Reuters, seraya menambahkan, ia belum menerima gaji secara teratur sejak merebaknya pandemi virus corona. Itulah sebabnya mengapa Taha memutuskan untuk meluncurkan bisnis pemulanya sendiri, Green Gold, yang bertujuan untuk mendaur ulang sampah organik dan memproduksi kompos.
"Salah satu jenis sampah yang bisa saya garap sebagai bisnis awal adalah sampah organik, termasuk sisa-sisa tanaman apa pun, yang mudah terurai secara alami," katanya.
Di sebuah peternakan kecil yang ia dirikan di kota Balad, Taha memproduksi kompos yang ia jual tidak hanya untuk mendapat penghasilan, tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pertanian.
Kegiatannya meliputi pembuatan apa yang dia sebut 'GG Balls', bola-bola kecil kompos yang berisi bibit untuk ditanam di rumah.
“Tujuan utama dari 'GG Balls' adalah untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pertanian. Tujuan kedua, memberi kesempatan kerja meskipun terbatas, kepada perempuan yang tidak bisa keluar rumah untuk bekerja. Jadi ini adalah proyek sosial yang menghasilkan pendapatan dan segi sosial."
Begitu proyeknya berkembang, Taha ingin mempekerjakan perempuan yang tidak mampu bekerja di luar rumah dan mendorong mereka untuk menjadi mandiri.
Taha juga meluangkan waktu untuk menjadi sukarelawan dengan LSM setempat yang membantu anak yatim dan anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua tunggal, untuk membantu mengilhami rakyat Irak generasi baru agar mempunyai cita-cita untuk diri mereka sendiri. [ps/jm]