Tautan-tautan Akses

Perempuan Pengungsi di Kongo Timur Hadapi Pemerkosaan


Sejumlah perempuan mengungsi setelah konflik antara pemberontak M23 dan pasukan Kongo pecah dekat Kibumba, sekitar 20 kilometer di utara Goma, Republik Demokratik Kongo, 29 Oktober 2022. (Foto: Moses Sawasawa/AP Photo)
Sejumlah perempuan mengungsi setelah konflik antara pemberontak M23 dan pasukan Kongo pecah dekat Kibumba, sekitar 20 kilometer di utara Goma, Republik Demokratik Kongo, 29 Oktober 2022. (Foto: Moses Sawasawa/AP Photo)

Empat pria dengan parang mengejar sekelompok perempuan yang lari melalui hutan lebat yang mengelilingi Goma, kota di bagian timur Kongo. Para perempuan itu putus asa berlarian kembali ke kamp pengungsi yang mereka tinggalkan untuk mencari kayu bakar.

Salah satu dari para perempuan itu tersandung dan jatuh. Belum sempat bereaksi, perempuan malang itu ditangkap oleh salah satu pria yang mengejarnya.

“Dia memerkosa saya,” kata perempuan itu dua minggu kemudian di Bulengo, satu dari beberapa kamp dekat Goma yang menampung 600 ribu orang yang melarikan diri dari wilayah-wilayah konflik.

“Dia mengatakan kepada saya, jika saya berteriak, dia akan membunuh saya,” kata perempuan itu. “Saya merasa kotor.”

Korban pemerkosaan berusia 35 tahun itu menolak diungkap identitasnya. Dia adalah satu dari ratusan perempuan pengungsi yang mengalami penyerangan seksual saat mereka keluar dari kamp untuk mencari kayu bakar atau makanan.

Organisasi kesehatan amal, Medecins Sans Frontieres (MSF), merawat lebih dari 670 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual atau hampir 50 perempuan per hari di tiga lokasi antara 17 April hingga 30 April.

Lebih dari setengahnya diserang oleh para pria bersenjata, kata organisasi itu minggu lalu. MSF menekankan angka itu mungkin lebih kecil dari jumlah sebenarnya.

Para perempuan dari Bunia di bagian timur Republik Demokratik Kongo di kamp pengungsian Kyangwali, di distrik Hoima, di barat Uganda, 25 Maret 2014.
Para perempuan dari Bunia di bagian timur Republik Demokratik Kongo di kamp pengungsian Kyangwali, di distrik Hoima, di barat Uganda, 25 Maret 2014.

Pemerkosaan sudah dikenal luas sebagai senjata perang yang digunakan kelompok milisi bersenjata. Kelompok-kelompok itu telah aktif di bagian timur sejak akhir dua perang saudara antara 1996 dan 2003.

Kerusuhan meningkat setelah grup M23 melakukan penyerangan besar di Provinsi Kivu Utara tahun lalu hingga memaksa ratusan ribu orang melarikan diri, sementara pihak militer melakukan serangan balasan.

Banyak di antara mereka mengungsi di kamp-kamp padat penghuni seperti Bulengo, yang membuat para pekerja kemanusiaan kewalahan.

Para perempuan itu terpaksa mencari makanan di luar kamp-kamp untuk memberi makan keluarganya yang lapar dan mengumpulkan kayu bakar untuk dijual. Akibatnya, mereka rawan mengalami kejahatan seksual, kata pekerja MSF, Delice Sezage Tulinabo.

Laporan-laporan tentang kekerasan berbasis gender di Kivu Utara nyumbang lebih dari sepertiga kasus pada tiga bulan pertama 2023 dibandingkan 2022 yang mencatat 38 ribu kasus, kata Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Children Fund/UNICEF)

Sebagian besar penyintas melaporkan mereka diserang oleh para pria pengungsi dan bersenjata di dan sekitar kamp.

Para pekerja kemanusiaan juga sudah mengungkapkan kekhawatiran mengenai tentara. Di Bulengo, para perempuan mengatakan mereka harus membayar para tentara untuk memasuki hutan. Sebagian dari para tentara itu juga melakukan pemerkosaan, kata para pekerja kemanusiaan.

Menteri Pertahanan Jean-Pierre Bemba mengatakan tuduhan-tuduhan pemerkosaan yang dilakukan tentara sedang diselidiki.

Yvonne Tumaini Asifwe, 55 tahun, memutuskan untuk berhenti bepergian keluar dari kamp setelah dua temannya dperkosa. Namun, dia sudah mulai kesulitan.

“Kami makan apa?” tanya perempuan itu. [ft/ah]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG