Kota-kota kecil yang dulu dibangun dan menjadi pusat budaya warga kulit hitam di Amerika Serikat (AS), satu persatu hilang. Sebuah wilayah di South Carolina misalnya, yang kaya budaya terancam pembangunan lapangan golf. Warga yang tersisa berupaya mempertahankannya.
Sallie Ann Robinson dengan bangga berdiri di halaman depan rumah neneknya di South Carolina. Generasi keenam warga asli Pulau Daufuskie itu, dari komunitas Gullah yang dulu pernah berkembang pesat, mengenang kerabatnya yang menggelar acara makan bersama dan menanamkan ajaran hidup untuk generasi mendatang.
“Jadi, nenek dan kakekku, Louvenia Robinson dan Josephus Robinson, tinggal disini hampir sepanjang hidup mereka, dan di tanah ini kami bertani. Kami menanam pohon pecan, kami juga menanam tanaman buah-buahan,” kata Robinson yang seorang chef dan pemandu wisata.
Sebuah jalan tanah yang panjang pernah digunakan oleh komunitas yang ramai, dan memiliki sistem barter sendiri dengan industri tiram yang menguntungkan.
“Dulu pada suatu ketika, pernah ada lebih dari seribu orang yang tinggal di pulau ini,” kata Robinson.
Saat ini, dia dan sejumlah sepupunya adalah satu-satunya yang tersisa dari anak turun Gullah.
Komunitas warga kulit hitam bersejarah seperti di Pulau Daufiskie pelan-pelan habis, dan keturunan seperti Robinson sedang berusaha menyelamatkan apa yang tersisa dari sejarah yang hilang dengan cepat.
“Kota ini adalah sumber atau sumber-sumber yang asli dari kebanyakan kebudayaan kami, sejarah kami, ekspresi fisik tempat kami,” kata Everett Fly, seorang arsitek lanskap yang menemukan lebih dari 1.800 pemukiman kulit hitam bersejarah melalui penelitiannya.
Para ahli mendefinisikan sebuah komunitas kulit hitam atau kota bersejarah sebagai pemukiman yang didirikan oleh orang-orang bekas budak, biasanya antara akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kantong-kantong pemukiman ini biasanya memiliki gereja-gereja sendiri, sekolah, pertokoan dan sistem ekonomi.
Fly dan para peneliti yang lain memperkirakan hanya kurang dari 30 kota yang bisa dimasukkan sebagai kota kulit hitam bersejarah yang tersisa di AS jumlah sangat sedikit dibanding lebih dari 1.200 pada puncaknya antara tahun 1880an dan 1915.
“Kota yang masih bertahan sangat jarang. Dan kota-kota ini menjadi sangat penting,” tambah Fly.
Penghapusan lingkungan-lingkungan ini bisa dilacak kembali ke upaya perintisannya ketika kelompok supremasi kulit putih meneror warga kulit hitam, menghancurkan seluruh blok perumahan dan kompleks bisnis atau memaksa mereka pindah ke luar kota, seperti yang terlihat di Pembantaian Ras Tulsa pada 1921 dan pembantaian di Rosewood, Florida pada 1923. Namun, pada periode yang lebih akhir, berkurangnya pemukiman kulit hitam lebih disebabkan oleh banyaknya perubahan peraturan, tarif pajak yang tidak merata, berkurangnya nilai harga rumah, dan perubahan politik yang membuat masyarakat rawan terhadap tawaran pengembang dan gentrifikasi yang merajalela.
“Sesuatu yang sederhana seperti bagaimana mereka mengubah area zonasi,” kata Elizabeth Clark-Lewis, direktur program sejarah masyarakat di Universitas Howard.
”Seseorang dengan kekuatan politik bisa membuat keputusan yang akan membunyikan lonceng kematian untuk kota-kota ini,” tambahnya.
“Kita melihat area-area yang tertutup, lapangan golf dan pengembangan perumahan yang telah direncanakan terhubung langsung dengan naiknya pajak dan perpindahan warga asli Gullah-Geechees di seluruh semenanjung ini,” kata Marquetta Goodwine, yang dikenal juga sebagai Queen Quet, pimpinan di kelompok Gullah-Geechee.
Di Pulau St. Selena di South Carolina, spanduk-spanduk besar menghiasi jalan masuk dan trotoar, dengan tulisan “Lindungi Budaya, Lindungi Sejarah, Lindungi Tanah”.
Seperti diungkapkan Kiity Green, pemilih dari jasa pemandu wisata Gulllah-N-Geechie Mahn Tours.
“Komunitas ini bangkit melawan penguasa, dan penguasa berarti uang. Kami tahu bahwa jika Anda membiarkan itu semua masuk, basis pajak akan naik, orang Afrika-Amerika akan kehilangan tanah dan jalan hidup mereka,” kata dia.
Dewan Geaufort County yang berkuasa, memblokir rencana pembangunan lapangan golf di tanah Gullah-Geechee setelah pengembangnya, Elvio Tropeano, meminta pemindahan 204 hektar plot dari distrik zonasi di pulau itu. Distrik zonasi melarang komunitas tertutup dan resor-resor, di lokasi yang dianggap memiliki makna penting dari sisi budaya. Tropeano kemudian mengajukan dua tuntutan hukum melawan dewan kota untuk banding atas putusan itu, dan saat ini mempertimbangkan untuk membangun perumahan di lahan tersebut.
Sebuah kelompok lokal, Jaringan Aksi Koalisi Masyarakat, mendukung rencana pembangunan lapangan golf di lahan yang telah dikuasai itu. Pendiri lembaga ini, Tade Oyeilumi mengatakan, bahwa dirinya pada awalnya melawan rencana itu, tetapi kemudian menghadiri sesi dengan pendapat.
“Kami semua setuju. Kami tidak menginginkan pembangunan semacam itu disini. Rencana itu akan mengubah infrastruktur komunitas. Ini akan membawa faktor gentrifikasi yang orang katakan, tidak mereka inginkan, datang lebih cepat,” ujarnya.
“Ketika saya mendengarkan Tropeano berbicara tentang pengembangan dan apa yang dia ingin lakukan terkait pembangunan ini, tujuan dari pembangunan itu dan bagaimana upaya itu akan berkontribusi kepada komunitas yang kami hidup di dalamnya, saya sangat terkesan,” kata Oyeilumi.
Dia justru khawatir, rencana pembangunan perumahan yang sekarang sedang dipertimbangkan pengembang, justru akan menghadirkan hasil yang meresahkan.
“Rencana membangun perumahan itu akan mengubah infrastruktur komunitas kami. Itu akan membawa factor gentrifikasi yang orang-orang katakana, bahwa mereka tidak menginginkan itu terjadi, justru lebih cepat datang. Lapangan golf, di sisi lain, justru meminimalkan kemungkinan itu,” ujar Oyeilumi. [ns/jm]
Forum