Hanya beberapa pekan lalu, Korea Selatan merayakan kemenangannya melawan wabah virus corona dengan melonggarkan social distancing, membuka kembali sekolah-sekolah dan mempromosikan kampanye antivirus berteknologi tinggi yang dipopulerkan Presiden Moon Jae-in dengan sebutan "K-quarantine".
Namun, meningkatnya jumlah kasus baru di Seoul, di mana sekitar setengah dari 51 juta penduduk negara itu tinggal, mengancam kisah sukses negara itu, dan mendorong pihak berwenang kesehatan untuk memperingatkan bahwa tindakan drastis harus diambil sekarang untuk menghentikan kemungkinan terjadinya gelombang kedua wabah virus corona.
Pusat Pengawasan dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan (KCDC), Kamis (11/6), melaporkan 45 kasus baru, peningkatan harian yang konsisten sejak akhir Mei. Kebanyakan kasus baru itu dilaporkan terjadi di kawasan metropolitan Seoul, di mana pihak berwenang kesulitan melacak penularan.
“Mempertimbangkan penularan COVID-19 yang begitu cepat, kami kesulitan melakukan pelacakan kontak untuk memperlambat penyebarannya,” kata Yoon Taeho, pejabat Kementerian Kesehatan dalam keterangan persnya, Kamis. Ia meminta warga ibu kota untuk terus tinggal di rumah.
Meskipun ada kecemasan mengenai peningkatan tajam tingkat penularan, para pejabat pemerintah sejauh ini menolak seruan untuk memberlakukan kembali pedoman social distancing yang lebih keras setelah dilonggarkan April lalu. Mereka khawatir, langkah itu akan memperburuk situasi ekonomi yang rapuh.
Sikap mereka bertolak belakang dengan sikap para pakar kesehatan, termasuk direktur KCDC Jung Eun-kyeong, yang memperingatkan bahwa negara itu tanpa sadar sedang melangkah menuju krisis besar Covid-19 yang baru, yang kali ini terjadi di kawasan yang paling padat penduduknya.
Ia mengatakan, para pekerja kesehatan kini semakin kesulitan melacak penularan yang berlangsung cepat karena orang-orang telah kembali meningkatkan aktivitas mereka dan mempraktikkan social distancing yang lebih longgar.
Keprihatinan serupa dilontarkan Direktur Lembaga Kesehatan Nasional Korea Selatan Kwon Jun-wook. Dalam sebuah pernyataan terpisah, ia mengakui pihak berwenang kesehatan kini hanya bisa melacak penularan setelah terlambat menemukan kasus-kasus baru.
Ia mengatakan, dulu wabah virus corona lebih mudah ditangani karena terkonsentrasi pada sebuah klaster di Daegu, tepatnya di sebuah kongregasi gereja. Jumlah penduduk Daegu sendiri hanya sekitar 2,5 juta orang. Kini, menurutnya, klaster-klaster baru bermunculan di mana-mana di ibu kota dan sekitarnya, yang jumlah penduduknya jauh lebih banyak. [ab/uh]