Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Irjen Pol Agus Nugroho mengatakan tujuh dari sepuluh orang yang ditetapkan sebagai tersangka telah ditangkap dan ditahan. Sementara tiga lainnya yang berinisial AW, AS dan AK – masih buron.
“Jika ada masyarakat mengetahui keberadaan dari ketiga pelaku ini mohon kiranya berkenan untuk menginformasikannya kepada kami, termasuk kami juga mengimbau kepada tiga tersangka yang masih buron ini untuk dapat menyerahkan diri kepada kami, sehingga secepatnya kami dapat menuntaskan perkara ini,” kata Irjen Pol Agus Nugroho dalam konferensi pers di Markas Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah di Palu, Rabu (31/5).
Selain itu, Polda Sulteng juga masih memeriksa seorang oknum anggota polisi berpangkat “ajun inspektur polisi dua” atau Aipda. Berdasarkan pengakuan korban, polisi yang di dadanya memiliki lambang pangkat satu balok bergelombang perak itu, juga melakukan perkosaan.
“Sementara terhadap pelaku oknum Polri, saudara MKS, sudah diamankan di Mako Satbrimobda (Satuan Brigade Mobil Daerah Polda Sulteng-Red) dan sampai saat ini masih dalam proses pemeriksaan,” ungkap Agus Nugroho.
Mengapa Polisi Menyebut “Persetubuhan,” Bukan “Perkosaan?”
Kasus perkosaan anak itu terjadi dalam rentang waktu April 2022 hingga Januari 2023, pada waktu dan tempat yang berbeda, yang dilakukan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing pelaku yang saling mengenal satu sama lain.
Korban diketahui bekerja untuk memasak makanan di sebuah tempat bekas rumah adat yang menjadi tempat mangkal para pelaku di Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong.
Para pelaku, yang di antaranya ada yang berprofesi sebagai guru, mahasiswa, kepala desa dan wiraswasta, memperdayai korban yang saat itu baru berusia 15 tahun, dengan iming-iming uang dan barang.
Menurut polisi tidak ada pemaksaan berupa ancaman terhadap korban, atau perbuatan memberikan minuman keras atau obat terlarang, sehingga kasus itu, menurut Irjen Agus Nugroho, tidak tepat disebut sebagai tindak pemerkosaan melainkan kasus persetubuhan terhadap anak di bawah umur.
“Tindak pidana ini dilakukan berdiri sendiri-sendiri, tidak dilakukan secara bersama-sama. Modus operandi yang digunakannya pun bukan dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan, melainkan dengan bujuk rayu, tipu daya, iming-iming,” kata Agus Nugroho.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 – yang merupakan penetapan Perppu tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak – jika terbukti bersalah para pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara.
RSUD Undata Palu: Organ Dalam Korban Rusak, Akan Dioperasi Minggu Depan
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Undata di Palu, drg. Herri mengatakan anak perempuan itu kini sedang menjalani perawatan di rumah sakit itu. Saat ini ditempatkan di ruangan isolasi untuk pemulihan kondisi fisik dan psikologis jelang tindakan operasi medis yang harus dilakukan untuk kebaikan pasien.
“Yang jelas rumah sakit Undata diberikan kepercayaan untuk melaksanakan pemulihan dari pasien tersebut, mudah-mudah operasinya rencana Minggu depan berjalan dengan baik,” kata drg Herri kepada wartawan di Palu, Rabu (31/5).
Drg Herri mengindikasikan ada kerusakan organ dalam tubuh pasien yang harus diangkat melalui operasi itu. Dokter tidak memberi penjelasan rinci, tetapi mengatakan akibat tindakan operasi tersebut korban tidak lagi akan dapat memiliki anak kelak.
Berdasarkan keterangan dari pihak Kepolisian, kasus ini terkuak setelah korban mengeluh sakit di bagian perut kepada orangtuanya. Korban pun menceritakan apa yang dialaminya sehingga kasus itu dilaporkan kepada Kepolisian setempat pada 25 Januari 2023. [yl/em]
Forum