Pemerintah Filipina mengatakan sudah lebih 40 orang tewas dalam bentrokan antara tim khusus polisi dan anggota kelompok gerilyawan Muslim terbesar di negara itu, yang sedang berusaha membina kesepakatan damai dengan pemerintah.
Bentrokan itu terjadi sehari sebelum kongres bersidang untuk membahas Rancangan Undang-Undang yang akan mengarah ke pembentukan daerah otonomi di kawasan yang bergolak dan mayoritas penduduknya Muslim di bagian selatan negara itu.
Polisi di Filipina selatan mengatakan baik pasukan pemerintah maupun pemberontak tewas dalam bentrokan hari Minggu di kota Mamasapano di provinsi Maguindanao, kubu Front Pembebasan Islam Moro. Pasukan pemerintah dilaporkan mencari Zulkifli bin Hir, tersangka teroris dari Malaysia yang dikenal karena keahliannya membuat bom.
Kepala juru-runding perdamaian Front pembebasan Islam Moro mengatakan polisi seharusnya terlebih dulu memberitahu kelompok pemberontak bahwa polisi sedang melancarkan operasi di daerah mereka.
Ketua Komisi Transisi Mohagher Iqbal mengatakan "mutlak harus ada koordinasi."
"Banyak orang berpendapat, memecahkan satu masalah hanya menimbulkan banyak masalah lain. Dan itu berdampak luas pada rancangan Undang-Undang Dasar Bangsamoro, yang sedang dipertimbangkan di Kongres," kata Iqbal.
Ketua Komisi Pemerintah Daerah di Senat, Ferdinand Marcos Junior menangguhkan sidang tentang rancangan undang-undang itu. Dalam pernyataan, ia menyebutkan, mereka tidak bisa bergerak maju "kalau terus ada keraguan yang serius mengenai situasi keamanan di selatan." Anggota DPR Rufus Biazon, ketua Komisi Ad Hoc tentang Undang-Undang Dasar Bangsamoro, juga mengeluarkan resolusi yang menangguhkan sidang terkait keamanan dan penegakan hukum. Komisi Ad Hoc itu juga menyerukan penyidikan atas bentrokan hari Minggu.
Namun, komisi Senat yang membahas sah-tidaknya rancangan undang-undang yang akan mengarah ke pembentukan daerah otonom yang disebut Bangsamoro, hari Senin tetap bersidang meskipun adanya kekerasan itu.
Itu adalah bentrokan besar pertama antara kedua pihak sejak pemberontak dan pemerintah menandatangani perjanjian damai Maret lalu. Pakta itu bertujuan mengakhiri bentrokan selama 40 tahun di selatan yang menewaskan lebih dari 120 ribu orang dan memaksa jutaan orang mengungsi. Setelah melalui perundingan bertahun-tahun, dan masa transisi ini, kedua pihak telah menempatkan tim pemantau gencatan senjata internasional.
Juru-runding perdamaian menetapkan tenggat waktu bagi penerapan semua komponen pakta itu menjelang pertengahan tahun 2016, ketika masa jabatan Presiden Benigno Aquino berakhir. Sebelum itu, undang-undang tadi harus disetujui, referendum diadakan di wilayah yang terimbas supaya penduduk bisa menentukan apakah mereka ingin menjadi bagian dari wilayah yang baru, dan pemerintahan parlementer akan berfungsi setelah pemilu Mei 2016.