Presiden Filipina, sebuah negara dengan mayoritas besar penduduk beragama Katolik, mengusulkan Rabu (10/9) untuk memberikan penduduk Muslim di bagian selatan kesempatan untuk mengelola sendiri pemerintahannya di bawah bendera mereka.
Rancangan Undang-Undang yang diberikan Presiden Benigno Aquino III pada Kongres mengejawantahkan perjanjian perdamaian yang ditandatangani Maret oleh kelompok pemberontakan Muslim terbesar di negara itu, Front Pembebasan Islam Moro (MILF) yang beranggotakan 11.000 orang.
Wilayah otonom di pulau Mindanao, yang akan disebut Bangsamoro, akan memiliki parlemen tersendiri beranggotakan 60 orang yang akan memiliki kekuasaan eksklusif untuk bidang-bidang seperti pertanian, perdagangan, pariwisata dan pendidikan.
Lewat proposal itu, undang-undang syariah akan berlaku pada Muslim di wilayah tersebut, tapi sistem peradilan negara akan berlaku pada non-Muslim. Kelompok Moro telah mengutuk aksi-aksi teroris kelompok ekstremis, termasuk Negara Islam, yang memberlakukan hukum syariah yang sangat keras di wilayah-wilayah yang dikuasainya di Suriah dan Irak.
Namun ada sedikitnya tiga kelompok pemberontak Muslim yang lebih kecil di Filipina selatan yang menolak perjanjian otonomi dan bersumpah untuk terus melawan demi negara Muslim terpisah.
Wilayah otonomi tersebut, yang secara umum mencakup lima provinsi, akan menggantikan yang ada sekarang ini, yang dilihat sebagai kegagalan. Rencana yang baru memberikan otonomi lebih besar pada wilayah tersebut, dan pemerintahan Aquino juga berjanji mengguyurkan dana pembangunan 17 miliar peso (US$389 juta) selama lima tahun mendatang di wilayah tersebut, yang ekonominya telah mandeg akibat konflik berkepanjangan.
Wilayah baru ini juga akan mendapat bagian pendapatan yang lebih besar, termasuk 75 persen dari pajak nasional, bea dan biaya yang dikumpulkan pemerintahan di Bangsamoro. Saat ini wilayah Muslim itu mendapat 70 persen.
Para pemberontak telah melawan pemerintah sejak 1970an dalam pertempuran yang telah menewaskan sekitar 150.000 pejuang dan warga sipil. Amerika Serikat dan pemerintah Barat lainnya telah mendukung perjanjian wilayah otonomi itu untuk mencegah pemberontakan tersebut melahirkan eksremis-ekstremis yang dapat mengancam negara-negara mereka.
Perjanjian perdamaian dan RUU itu dibuat setelah negosiasi tangguh selama 13 tahun. (AP)