Pengungsi yang menghindari pertempuran maut pertengahan tahun ini antara pasukan pemerintah dan pemberontak Muslim di Filipina Selatan menyatakan tidak siap kembali ke rumah mereka, setelah pertempuran diumumkan berakhir. Mereka khawatir akan bahaya yang masih membayangi dan kemungkinan kurangnya dana rekonstruksi.
Nasib sekitar 364 ribu pengungsi dari Marawi, kota di Pulau Mindanao yang rawan kekerasan, menantang badan-badan pemerintah untuk mencegah pertempuran baru dan membangun kembali kota yang rusak berat itu sebelum penduduk menyerah dan pindah selamanya.
Miriam Coronel-Ferrer, dosen politik di University of the Philippines yang membantu pemerintah sebelumnya merundingkan perdamaian di Mindanao mengatakan perlu waktu lama dan tidak mudah untuk membangun kembali semuanya.
Rumah-rumah penduduk dibakar, dihancurkan atau dilumatkan, demikian kata-kata 43 keluarga yang tinggal di sebuah pusat evakuasi di kota Cagayan de Oro di dekatnya. Banyak juga yang menyatakan mereka kehilangan usaha kecil mereka.
Selama lima bulan ini, keluarga-keluarga tersebut dan sekitar 6.400 lainnya mengungsi ke kota itu, yang dianggap aman dari kekerasan oleh pemberontak yang menghancurkan sebagian besar dari kampung halaman mereka sejak 23 Mei hingga 24 Oktober lalu. Sedikitnya empat kota lainnya membantu mengurusi pengungsi dan sebagian pengungsi ada yang pindah hingga ke Manila untuk memulai kembali bisnis mereka. [uh]