SEOUL —
Wakil-wakil pemerintah berbagai organisasi internasional beberapa waktu lalu bertemu di Korea Selatan dan dengan suara bulat mendukung protokol untuk memberantas perdagangan gelap rokok. Langkah ini diambil pada hari pertama pertemuan Konvensi Kerangka Kerja mengenai Pengendalian Rokok (FCTC) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Protokol ini menciptakan sistem global baru yang mewajibkan pemasangan kode-kode pelacak yang tidak bisa dihapus pada setiap bungkus rokok. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pelacakan produsen dan distributor produk-produk rokok palsu.
Direktur Jenderal WHO Margaret Chan, sewaktu berbicara pada sidang pembukaan FCTC, mendesak diberlakukannya perjanjian yang disebutnya sangat penting itu. Ia mengatakan, “Protokol ini memberi dunia suatu perangkat berbasis peraturan untuk menghadapi dan pada akhirnya, memberantas kegiatan kriminal internasional yang sangat canggih.”
WHO memperkirakan satu dari sepuluh rokok yang dijual berasal dari saluran-saluran perdagangan gelap, yang menimbulkan kerugian lebih dari 40 miliar dolar per tahun karena hilangnya pendapatan pemerintah dari pajak.
Perusahaan rokok raksasa Philip Morris mengeluarkan pernyataan yang memuji tindakan tersebut, tetapi menyatakan protokol itu bukan solusi cepat untuk menyelesaikan masalah serius perdagangan gelap internasional.
Wakil presiden Philip Morris untuk bidang komunikasi Peter Nixon, dalam pernyataan yang dilansir di Lausanne, Swiss, menyatakan langkah-langkah pencegahan yang tidak dicakup dalam perjanjian tersebut, misalnya regulasi bahan-bahan penting yang digunakan untuk membuat produk-produk tembakau, harus dipertimbangkan oleh pemerintah dalam penerapan protokol ini di tingkat nasional.
Perusahaan yang memproduksi tujuh dari 15 merek internasional terkemuka dunia itu menyatakan bahwa gabungan jumlah produk-produk rokok ilegal itu sama dengan yang dipasok produsen terbesar ke-tiga dunia.
John Stewart, yang memimpin upaya-upaya anti-rokok di Corporate Accountability International yang berkantor pusat di Amerika, menyatakan protokol itu akan membantu menghentikan kebiasaan merokok.
“Ini merupakan kemenangan sangat besar bagi kesehatan masyarakat. Rokok dari pasar gelap membanjiri pasar dengan harga murah dan tidak dikontrol, yang membuatnya jadi lebih mudah dibeli anak-anak dan orang-orang miskin,” ujarnya.
Agar dapat diberlakukan, perjanjian ini harus diratifikasi oleh lebih dari 40 negara.
Francis Thompson, seorang direktur di Aliansi Konvensi Kerangka Kerja yang berkantor pusat di Jenewa mengatakan akan perlu bertahun-tahun untuk memberlakukan perjanjian itu.
“Ini adalah protokol yang relatif pelik untuk diterapkan karena melibatkan banyak lembaga pemerintah dan kementerian. Jadi kami tidak tahu pasti bagaimana protokol ini lima atau sepuluh tahun mendatang,.
Konferensi tersebut juga membahas pedoman mengenai harga dan pajak untuk mengurangi permintaan terhadap rokok, dan meninjau berbagai regulasi bagi produk-produk tanpa asap seperti rokok elektronik.
Protokol ini menciptakan sistem global baru yang mewajibkan pemasangan kode-kode pelacak yang tidak bisa dihapus pada setiap bungkus rokok. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pelacakan produsen dan distributor produk-produk rokok palsu.
Direktur Jenderal WHO Margaret Chan, sewaktu berbicara pada sidang pembukaan FCTC, mendesak diberlakukannya perjanjian yang disebutnya sangat penting itu. Ia mengatakan, “Protokol ini memberi dunia suatu perangkat berbasis peraturan untuk menghadapi dan pada akhirnya, memberantas kegiatan kriminal internasional yang sangat canggih.”
WHO memperkirakan satu dari sepuluh rokok yang dijual berasal dari saluran-saluran perdagangan gelap, yang menimbulkan kerugian lebih dari 40 miliar dolar per tahun karena hilangnya pendapatan pemerintah dari pajak.
Perusahaan rokok raksasa Philip Morris mengeluarkan pernyataan yang memuji tindakan tersebut, tetapi menyatakan protokol itu bukan solusi cepat untuk menyelesaikan masalah serius perdagangan gelap internasional.
Wakil presiden Philip Morris untuk bidang komunikasi Peter Nixon, dalam pernyataan yang dilansir di Lausanne, Swiss, menyatakan langkah-langkah pencegahan yang tidak dicakup dalam perjanjian tersebut, misalnya regulasi bahan-bahan penting yang digunakan untuk membuat produk-produk tembakau, harus dipertimbangkan oleh pemerintah dalam penerapan protokol ini di tingkat nasional.
Perusahaan yang memproduksi tujuh dari 15 merek internasional terkemuka dunia itu menyatakan bahwa gabungan jumlah produk-produk rokok ilegal itu sama dengan yang dipasok produsen terbesar ke-tiga dunia.
John Stewart, yang memimpin upaya-upaya anti-rokok di Corporate Accountability International yang berkantor pusat di Amerika, menyatakan protokol itu akan membantu menghentikan kebiasaan merokok.
“Ini merupakan kemenangan sangat besar bagi kesehatan masyarakat. Rokok dari pasar gelap membanjiri pasar dengan harga murah dan tidak dikontrol, yang membuatnya jadi lebih mudah dibeli anak-anak dan orang-orang miskin,” ujarnya.
Agar dapat diberlakukan, perjanjian ini harus diratifikasi oleh lebih dari 40 negara.
Francis Thompson, seorang direktur di Aliansi Konvensi Kerangka Kerja yang berkantor pusat di Jenewa mengatakan akan perlu bertahun-tahun untuk memberlakukan perjanjian itu.
“Ini adalah protokol yang relatif pelik untuk diterapkan karena melibatkan banyak lembaga pemerintah dan kementerian. Jadi kami tidak tahu pasti bagaimana protokol ini lima atau sepuluh tahun mendatang,.
Konferensi tersebut juga membahas pedoman mengenai harga dan pajak untuk mengurangi permintaan terhadap rokok, dan meninjau berbagai regulasi bagi produk-produk tanpa asap seperti rokok elektronik.