Lebih keras, lebih baik. Demikian kesimpulan penelitian baru mengenai peringatan bahaya merokok pada kemasan atau bungkus rokok. Tim peneliti di Universitas South Carolina di Amerika mempelajari jenis label peringatan mana yang mencegah orang dewasa merokok.
"Perokok menilai label peringatan dengan gambar dan teks lebih kuat dalam mendapat kepercayaan mereka, relevansinya dengan perokok itu sendiri dan lebih efektif daripada peringatan yang hanya berupa teks," demikian ungkapan James Thrasher, peneliti utama kemasan rokok tersebut.
Temuan tim itu akan muncul dalam American Journal of Preventive Medicine edisi Desember.
Lebih dari 40 negara telah menempatkan label peringatan kesehatan dengan gambar.
Thrasher mengatakan perokok yang tidak terlalu 'melek huruf' menilai label bergambar lebih bisa dipahami dibandingkan peringatan hanya dengan tulisan. Ini merupakan temuan besar bagi negara-negara berkembang yang angka buta aksara dan jumlah perokoknya tinggi.
"Peringatan yang lebih keras, yang menunjukkan kerusakan fisik akibat merokok, lebih efektif daripada gambar lain, seperti gambar orang menderita dampak merokok atau gambar yang lebih simbolis atau abstrak, misalnya, batu nisan yang menunjukkan kematian akibat merokok," kata Thrasher.
Namun menurut Thrasher, perokok akhirnya menjadi tidak peka terhadap gambar paling keras pada paket, seperti foto organ tubuh yang sakit.
Australia baru-baru ini menjadi negara pertama yang mewajibkan kemasan rokok tanpa gambar. Langkah Australia itu dipuji Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), Margaret Chan.
"Kemasan polos membuang peringatan bahaya merokok dan menggantinya dengan kebenaran. Itu akan lebih bermanfaat bagi kesehatan," ujarnya.
Chan berbicara pada pertemuan global terbaru, Konferensi Negara-Negara Penandatangan Konvensi Kerangka Kerja WHO mengenai Pengendalian Tembakau minggu lalu.
Pendukung anti-rokok mengatakan, yang lebih penting daripada label untuk mencegah merokok, adalah membuat produk rokok lebih mahal.
Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau telah diratifikasi 176 negara sejak mulai diberlakukan tahun 2005. Amerika, produsen rokok terkemuka, dan tujuh negara lain telah menandatangani kesepakatan, namun belum meratifikasi konvensi itu. 10 negara lainnya belum menandatangani kesepakatan tersebut, termasuk Indonesia, yang sebagai negara dengan konsumen rokok yang cukup besar dan diperkirakan mencapai sekitar 57 juta perokok.
"Perokok menilai label peringatan dengan gambar dan teks lebih kuat dalam mendapat kepercayaan mereka, relevansinya dengan perokok itu sendiri dan lebih efektif daripada peringatan yang hanya berupa teks," demikian ungkapan James Thrasher, peneliti utama kemasan rokok tersebut.
Temuan tim itu akan muncul dalam American Journal of Preventive Medicine edisi Desember.
Lebih dari 40 negara telah menempatkan label peringatan kesehatan dengan gambar.
Thrasher mengatakan perokok yang tidak terlalu 'melek huruf' menilai label bergambar lebih bisa dipahami dibandingkan peringatan hanya dengan tulisan. Ini merupakan temuan besar bagi negara-negara berkembang yang angka buta aksara dan jumlah perokoknya tinggi.
"Peringatan yang lebih keras, yang menunjukkan kerusakan fisik akibat merokok, lebih efektif daripada gambar lain, seperti gambar orang menderita dampak merokok atau gambar yang lebih simbolis atau abstrak, misalnya, batu nisan yang menunjukkan kematian akibat merokok," kata Thrasher.
Namun menurut Thrasher, perokok akhirnya menjadi tidak peka terhadap gambar paling keras pada paket, seperti foto organ tubuh yang sakit.
Australia baru-baru ini menjadi negara pertama yang mewajibkan kemasan rokok tanpa gambar. Langkah Australia itu dipuji Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), Margaret Chan.
"Kemasan polos membuang peringatan bahaya merokok dan menggantinya dengan kebenaran. Itu akan lebih bermanfaat bagi kesehatan," ujarnya.
Chan berbicara pada pertemuan global terbaru, Konferensi Negara-Negara Penandatangan Konvensi Kerangka Kerja WHO mengenai Pengendalian Tembakau minggu lalu.
Pendukung anti-rokok mengatakan, yang lebih penting daripada label untuk mencegah merokok, adalah membuat produk rokok lebih mahal.
Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau telah diratifikasi 176 negara sejak mulai diberlakukan tahun 2005. Amerika, produsen rokok terkemuka, dan tujuh negara lain telah menandatangani kesepakatan, namun belum meratifikasi konvensi itu. 10 negara lainnya belum menandatangani kesepakatan tersebut, termasuk Indonesia, yang sebagai negara dengan konsumen rokok yang cukup besar dan diperkirakan mencapai sekitar 57 juta perokok.