Pertentangan semakin dalam pada pembicaraan iklim PBB hari Kamis, membuat negara-negara kaya berhadap-hadapan dengan negara-negara miskin, eksportir oil berhadapan dengan negara-negara kepulauan yang rentan, dan kalangan pemerintah yang siap bertindak untuk menanggulangi pemanasan global berhadapan dengan pemerintah yang masih ragu-ragu.
Taruhan semakin ditingkatkan dengan dipublikasikannya laporan ilmiah yang mewanti-wanti target paling ambisius dalam persetujuan iklim Paris 2015 untuk membatasi emisi kini semakin sulit. Angka-angka terbaru yang dirilis pekan ini menunjukkan emisi karbon dioksida yang menangkap panas meningkat ke level tertinggi dalam kurun waktu tujuh tahun, membuat tugas untuk mengurangi emisi mendekati nol menjadi semakin sulit.
Para perunding dalam pembicaraan iklim di Katowice, Polandia, masih tidak sepakat tentang cara yang akan ditempuh namun hanya memiliki beberapa hari tersisa untuk menyelesaikan pembicaraan teknis sebelum para menteri mengambil alih.
“Ini akan menjadi sebuah tantangan besar,” ujar Amjad Abdulla, kepala perunding untuk Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil. “Kami akan maju untuk menyelesaikan isu-isu yang rumit pekan depan.”
Di antara perbedaan yang harus diatasi sebelum konferensi ini berakhir pada tanggal 14 Desember adalah:
* Pertanyaan tentang jenis fleksibilitas apa yang akan dimiliki negara-negara berkembang menyangkut pelaporan emisi dan upaya-upaya untuk membatasinya.
Persoalan ini merupakan persoalan utama di dalam aturan Kesepakatan Paris, negara-negara mana yang telah berkomitmen untuk memfinalisasinya tahun ini. Para pegiat lingkungan mendesak negara-negara seperti Brazil, dengan hutan hujan Amazon nya yang luas, dan China, sumber penghasil polusi terbesar di dunia, harus memberikan data nyata tentang emisi dan tidak diperlakukan seperti negara-negara miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk menghitung emisi gas-gas rumah kaca secara akurat.
Hal yang membuat semakin rumit, adalah sekelompok negara-negara kaya termasuk Amerika Serikat dan Australia yang menuntut keringanan yang sama dengan negara-negara berkembang.
* Beberapa negara pengekspor minyak telah menyatakan keberatannya tentang gagasan untuk menyebutkan secara eksplisit cara-cara untuk menekan pemanasan global di tingkat 1,5 derajat Celsius. The Intergovernmental Panel on Climate Change, sebuah badan yang terdiri dari kaum ilmuwan dari seluruh dunia, baru-baru ini mengusulkan “jalur kebijakan” untuk mencapai tujuan ini, yang mengantisipasi penghapusan hampir seluruh pemanfaatan sumber batubara, minyak, dan gas menjelang tahun 2050.
Namun Saudi Arabia dan beberapa sekutunya menyatakan menyebutkan jalur tersebut dalam teks kesepakatan tentang ambisi di masa depan adalah sesuatu yang salah.
* Negara-negara berkembang merasa frustrasi pada negara-negara kaya yang tidak bersedia bekomitmen untuk memberikan jaminan yang lebih besar terkait dukungan finansial pada negara-negara miskin yang menghadapi beban biaya untuk menanggulangi efek dari perubahan iklim. Pemerintah-pemerintah Eropa berargumen bahwa mereka dibatasi oleh anggaran yang membatasi kemampuan mereka untuk mengalokasikan dana lebih dari beberapa tahun di muka.
Yang sudah jelas adalah hanya sedikit negara yang berjalan di jalur yang tepat untuk menghentikan pemanasan global.
“Data pertama untuk tahun ini merujuk pada peningkatan pesat pada emisi CO2 di tingkat global, hampir semua negara berkontribusi pada kenaikan tingkat emisi,” ujar Corrine Le Quere, yang memimpin tim yang mempublikasikan studi terkait emisi pekan ini.
“Di China, tingkat emisi ini didorong oleh stimulasi ekonomi di sektor konstruksi. Di AS, ini adalah tahun yang tidak biasa, musim dingin yang lebih dingin dan musim panas yang lebih panas, kedua kondisi yang mendorong permintaan konsumsi energi. Di Eropa, tingkat emisi mengalami penurunan namun kurang dari apa yang sebelumnya dicapai, dan ini disebabkan oleh meningkatnya emisi dari sarana transportasi yang membenamkan manfaat yang diperoleh dari sektor lainnya,” ujar Corrine kepada forum pertemuan tersebut di Katowice.
Le Quere, direktur Tyndall Centre for Climate Change Research di the University of East Anglia di Inggris, juga mencatat beberapa kabar baik.
“Kita memiliki energi terbarukan,” ujarnya. “Sumber energi ini menggantikan batubara di AS dan Eropa, dan pemanfaatan energi ini semakin berkembang dimana-mana.”
“Tidak cukup untuk memenuhi berkembangnya permintaan energi di negara-negara berkembang khususnya,” ujarnya. “Namun sektor industri di sana juga berkembang.”
Negara tuan rumah, Polandia, yang 80 persen kebutuhan energinya bergantung kepada batubara, termasuk di antara negara yang menuntut dukungan pada para pekerja di sektor industri batubara dan gas yang dapat kehilangan lapangan pekerjaan saat negara-negara beralih ke energi yang lebih bersih.
Terkait dengan adanya pertentangan tajam tentang cara terbaik untuk menanggulangi perubahan iklim, Sekjen PBB, Antonio Guterres mempertimbangkan untuk kembali ke Katowice untuk mendorong deklarasi yang lebih kuat.
“Sifatnya masih berupa kemungkinan,” ujar juru bicara PBB, Stephane Dujarric, hari Kamis. “Apabila ia merasa kehadirannya akan bermanfaat, ia akan kembali lagi. Namun belum ada keputusan yang diambil.” [ww]