Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Mayarakat (LPPM) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, mencatat seringnya bencana yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh dampak perubahan iklim yang ditimbulkan oleh kerusakan hutan dan lingkungan.
Pencegahan dan antisipasi bencana perlu menjadi prioritas untuk meminimalisir jumlah korban dan kerugian, selain upaya penanganan saat bencana terjadi.
Bencana hidrometeorologi atau yang disebabkan oleh perubahan iklim menjadi bencana yang paling sering terjadi di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.
Bencana akibat perubahan iklim menurut Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Mayarakat (LPPM) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Amien Widodo, seharusnya dapat diantisipasi dan dipersiapkan penangananya sebelum bencana terjadi, dengan mengetahui penyebab dan cara mengatasinya. Upaya ini diperlukan untuk memperkecil jumlah korban jiwa dan kerugian akibat bencana yang selalu terjadi.
“Bencana yang paling sering terjadi dan korbannya juga semakin banyak, dan itu menurut saya juga aneh, bencana karena iklim. Itu kethok moto istilahe (dapat dilihat oleh mata), mosok banjir kok terus-terusan dan mesti ada korban, itu kan aneh," kata Amien Widodo.
"Kekeringan kan tiap tahun terus-terusan, kenapa kok orang tidak berpikir ini apa sih penyebabnya, kan gak berpikir kesana. Tapi kekeringan tapi yang disediakan, nanti bisa tanya sama BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) apa yang disediakan, oh kita sudah menyediakan dana bermilyar-milyar untuk mengatasi kalau kering. Pada waktu banjir dan pada waktu kekeringan, bukan sebelumnya,” lanjutnya.
Amien menambahkan, bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim pada dasarnya dipicu oleh kerusakan hutan dan lingkungan, sehingga upaya mengatasinya hanya bisa dilakukan dengan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi.
“Penyebabnya jelas dan sangat mudah, hutan yang di gunung sana itu digunduli, dan memang hanya itu (penyebabnya). Kan bisa dibandingkan begini, jadi pada waktu ada hutan tadi, sebenarnya kan air itu, air hujan semusim itu bisa masuk ke dalam tanah terus keluar secara perlahan-lahan dalam setahun menjadi mata air terus-terusan, kalau itu ada hutan. Tapi kalau itu hutan gak ada, ya seperti (kepala) kita gundul, kan begitu diguyur kan langsung lari semua, gak ada yang meresap, otomatis ya kekeringan karena air tanah yang di dalam tanah itu tidak tersedia,” jelas Amien Widodo.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mencatat lebih dari 11.000 kejadian bencana di Indonesia dalam 10 tahun terakhir, dengan kerugian mencapai lebih dari 200 triliun Rupiah dan lebih dari 193.000 orang meninggal dunia.
Direktur Pengurangan Resiko Bencana BNPB, Lilik Kurniawan mengatakan, upaya mengurangi resiko bencana telah disusun oleh pemerintah, bersama dengan upaya penanggulangan bencana. Tindakan ini untuk mengurangi potensi resiko bencana yang dapat menimpa penduduk di Indonesia, yang tercatat mencapai 205 juta jiwa tinggal di daerah rawan terjadinya bencana.
“Upayanya memang tidak bisa langsung semuanya kita kurangi, karena yang namanya terpapar (tinggal di wilayah rawan bencana), keterpaparan itu tergantung dengan karakteristik wilayahnya," jelas Lilik Kurniawan.
"Dengan kondisi Indonesia yang rawan bencana, kita sebut rawan bencana karena hampir 80 persen itu adalah rawan gempa bumi, mereka harus adaptasi untuk itu. Nah, pemerintah sendiri sedang merencanakan, namanya Rencana Nasional Penanggulangan Bencana, itu inline dengan kebijakan pak Jokowi, dengan memasukkan penanggulangan bencana dan pengurangan resiko bencana dalam RPJMN 2015-2019, dan pelakunya tidak hanya BNPB, tetapi semua kementerian dan lembaga yang terkait dengan penanggulangan bencana,” lanjut Direktur Pengurangan Risiko Bencana BNPB.
Sementara itu Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Arie Setiadi Moerwanto mengungkapkan, upaya menghindarkan penduduk dari daerah rawan bencana dapat dilakukan melalui pembangunan dan perbaikan infrastruktur daerah-daerah di luar Jawa.
“Kita harusnya sih menghindari penduduk tinggal di daerah rawan bencana, itu kan prinsipnya, namun demikian tidak mudah terkait dengan bahwa infrastruktur, katakanlah Jawa dengan luar Jawa ini kan berbeda, artinya kita harus memberikan stimulant dan turun tangan pemerintah supaya daerah-daerah luar Jawa ini infrastrukturnya juga menjadi baik,” jelas Arie Setiadi Moerwanto.
Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Joni Hermana mengatakan, kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai bencana tergolong masih sangat rendah, sehingga edukasi mengenai bencana harus lebih banyak dilakukan mulai saat ini..
“Sangat kurang ya, jadi perlu proses pendidikan yang besar untuk masyarakat supaya mereka memahami bahwa bukan bencananya yang berbahaya, tetapi sikap kita terhadap bencana yang menyebabkan berbahaya, misalnya sudah tahu itu daerah yang rawan tapi kita kok kita tinggal disitu. Nah, hal-hal yang sifatnya seperti itu yang perlu edukasi,” kata Joni Hermana.