Hujan tanpa henti sejak hari Senin mendatangkan banjir di Kota Pacitan, Jawa Timur. Sejumlah sungai meluap, pusat kota terendam, dan jembatan tak bisa lagi dilewati. Ria Nurswida, warga Pacitan yang dihubungi VOA, bercerita bagaimana semua ini terjadi.
“Senin siang itu sudah mulai hujan, sampai dini hari itu hujan deras sekali, campur angin. Sampai jam 4 pagi hujan deras sekali, banyak sekali, mulai subuh air sudah menggenang. Alun-Alun depan Masjid Agung Pacitan sudah rata digenangi air. Sekitar jam 1 siang hari Selasa, hujan deras lagi sampai sore ini, jadi air kembali menggenang dan jalan banyak yang ditutup,” ujarnya.
Kepada VOA, Ria juga bercerita bahwa Selasa sore ini dia sedang menunggu kawannya yang akan mengungsi. Rumahnya yang berada di daerah cukup tinggi masih terbebas dari luapan air, dan karena itu menjadi pilihan untuk menumpang. “Dia lagi menunggu giliran untuk dibawa menggunakan perahu karet,” kata Ria.
Pusat Peringatan Dini Siklon Tropis, sebuah unit di bawah Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, mengeluarkan peringatan datangnya siklon tropis. Siklon ini dideteksi pada Senin malam, dan membesar di pesisir selatan Pulau Jawa. BMKG memberi nama siklon tropis ini “Cempaka".
Siklon tropis Cempaka ini, pada hari Selasa berada hanya 32 kilometer di selatan Kota Pacitan. Tidak mengherankan apabila hujan deras disertai angin menghantam kota di tepi laut ini. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Pacitan menunjukkan, hingga Selasa ini setidaknya 4.200 orang terpaksa mengungsi.
Kepala BMKG, Prof Dwikorita Ratnawati menyatakan, siklon tropis Cempaka mengakibatkan perubahan pola cuaca di sekitar lintasannya. Hujan lebat melanda seluruh Jawa selama tiga hari dengan potensi angin kencang dengan kecepatan mencapai 30 knot di wilayah pesisir barat Sumatera, Bangka Belitung, seluruh Jawa, Bali hingga Lombok.
“Memang inilah yang terjadi, yang disebut cuaca ekstrim itu akibat siklon itu. Jadi memang dampaknya sudah kita sampaikan, akan terjadi hujan lebat, banjir dan longsor kemudian ada angin kencang dan petir. Ini sudah kami komunikasikan dengan BNPB, masyarakat, pengelola penerbangan dan pelabuhan agar melakukan tindakan adaptif terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan,” kata Dwikorita.
Secara khusus, Dwikorita mengingatkan pentingnya deteksi dini bencana, khususnya banjir dan tanah longsor. “Perlu kewaspadaan terhadap longsor dan banjir, harus ada pemantauan dan peringatan dini yang semakin dipercepat. Biasanya lereng yang akan mengalami longsor ada gejala awalnya, sehingga harus ada pengamanan,” tambahnya.
Hari Selasa sore, selain Kabupaten Pacitan, kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta juga dilanda sejumlah bencana seperti banjir, tanah longsor dan pohon tumbang. Badan penanggulangan bencana masih memastikan jumlah korban, tetapi setidaknya tiga orang dikabarkan tertimbun tanah longsor di Kota Yogyakarta.
Peneliti di Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dr Sunarto kepada VOA menggaris bawahi bahwa Indonesia seharusnya tidak asing dengan cuaca seperti saat ini. Meskipun, sesuai perkiraan dari BMKG, dalam beberapa hari terakhir curah hujan akan lebih tinggi dari hari biasa, Sunarto memandang penting kesiapan setiap daerah untuk menghadapi potensi bencana akibat cuaca ekstrim. Di kawasan perkotaan, misalnya, menurut Sunarto, harus dipikirkan ke mana air hujan yang melimpah ini akan disalurkan.
“Kalau di perkotaan, mau tidak mau drainase yang perlu dipersiapkan, harus dicek ulang di musim seperti ini. karena ini menyangkut perilaku masyarakat, karena drainase itu seperti parit, kalau musim kemarau tidak ada airnya, nah kadang-kadang ini justru menjadi tempat sampah. Kadang-kadang, hal semacam itu ketika hujan datang seperti saat ini, akan terjadi kebuntuan aliran air,” jelasnya.
Sunarto pernah melakukan penelitian terkait kesiapan masyarakat menghadapi bencana di tingkat lokal. Menurutnya di berbagai wilayah, masyarakat memiliki pola pengenalan potensi bencana yang khas. Mereka juga melakukan upaya pencegahan sesuai dengan kearifan lokal yang diturunkan dari generasi sebelumnya. Potensi semacam inilah yang dapat dikembangkan untuk menyiapkan masyarakat agar lebih siap menghadapi bencana akibat cuaca ekstrim ini. [ns/ab]