Kenaikan harga garam di sejumlah daerah di Indonesia diikuti juga oleh langkanya stok garam. Seperti di Surabaya, pasokan garam sedang kosong di pasaran, karena tidak ada garam yang bisa dipanen dalam waktu dekat.
Menurut petani tambak garam di Romokalisari, Surabaya, Muhammad Nur Aini, kondisi cuaca yang tidak menentu menjadi faktor utama mundurnya panen garam di sejumlah daerah, termasuk di Surabaya.
“Hari ini mestinya sudah mulai ada yang, istilahnya lepas air tua, LAT, kalau orang Madura itu LAT, lepas air tua, ditaruh di meja kristalisasi, menunggu 7 hari atau 10 hari baru kita panen. Tapi karena hujan, otomatis mundur, itu pun dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari. Kalau full ya kurang lebih 10 hari kita sudah kita punya BE 25 lagi, paling cepat pertengahan bulan Agustus itu sudah bisa panen, kalau tidak ada hujan mulai sekarang,” ungkapnya.
Muhammad Nur Aini menambahkan, kepastian mengenai kondisi cuaca saat ini sangat diperlukan, untuk memberi kepastian waktu produksi petani tambak garam. Selain itu, stabilitas harga garam juga menjadi harapan petani garam, karena harga beli garam yang relatif rendah selama ini.
“Petani garam ya kepinginnya cepat produksi, satu. Yang kedua, ada informasi yang jelas dari BMKG, kapan kita itu mulai turun ke ladang, terus informasi perkiraan cuacanya, iklimnya itu bagaimana, jadi kita bisa antisipasi. Jadi bagi kami yang penting ada produksi garam, dan harga garam itu stabil,” imbuh Nur Aini.
Kota Surabaya setiap tahunnya mengonsumsi garam hingga 100.000 ton, dengan kemampuan produksi petani tambak garam yang berkisar antara 70.000 sampai 100.000 ton per tahun. Namun, selama 2 tahun terakhir, produksi petani tambak garam di Surabaya terus menurun, akibat kondisi cuaca yang tidak menentu.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Surabaya, Joestamadji mengatakan, meski terus berupaya memperbaiki kualitas produksi dengan memanfaatkan teknologi, produksi garam lokal masih sangat tergantung pada proses alami yang membutuhkan panas matahari.
“Memang kalau kita ngomong garam, prosesnya masih alami. Jadi tergantung pada intensitas penyinaran matahari, kemudian pengaruh musim tadi. Kalau tidak hujan ya berarti bisa jalan. Ada sebenarnya teknologi, air laut dimasak, cuma kalau dimasak pakai bahan bakar minyak nanti tidak efektif,” tuturnya.
Terkait kosongnya stok garam di Surabaya, Pemerintah Kota Surabaya masih menunggu kebijakan strategis yang akan diambil pemerintah pusat. Termasuk kemungkinan dilakukannya operasi pasar dengan menggunakan garam impor, sampai kebutuhan terpenuhi dan kondisi harga garam stabil kembali. Joestamadji mengatakan, pihaknya akan mengupayakan melakukan peningkatan kualitas garam krosok (kasar) kualitas rendah, menjadi garam yang siap dikonsumsi.
"Kalau ini kan kebijakan pemerintah pusat, jadi kita ya menunggu saja dari pemerintah pusat seperti apa masalah garam ini. Tahun kemarin inginnya yang tadi, garam krosok (kasar) istilahnya ya, ini mau kita olah terus lebih ditingkatkan lagi, sampai di-packing, bisa dikonsumsi," ujar Joestamadji. [pr/uh]