Perusahaan farmasi AS Pfizer dan mitranya yang berbasis di Jerman, BioNTech, diperkirakan akan meminta Badan Pengawas Makanan dan Obat AS (FDA) pada Selasa (1/2) untuk memberikan otorisasi vaksin COVID-19 bagi anak-anak balita.
Kedua perusahaan itu akan meminta FDA agar memberikan otorisasi penggunaan darurat untuk pemberian dosis rendah vaksin dua dosisnya bagi anak-anak berusia mulai enam bulan, meskipun pada Desember lalu mereka mengumumkan bahwa vaksin itu tidak menghasilkan respons imunitas pada anak-anak berusia 2 hingga 4 tahun yang sama seperti pada remaja dan orang dewasa. Kedua perusahaan itu juga telah memutuskan untuk memberikan dosis ketiga pada uji klinis mereka, suatu langkah yang dapat menghambat upaya-upaya penyediaan vaksin bagi orang-orang muda Amerika.
Namun para pakar kesehatan mendesak Pfizer dan BioNTech untuk melanjutkan upayanya dan mengajukan permohonan kepada FDA bagi vaksin dua dosis itu sambil menunggu hasil uji coba untuk dosis ketiga. Vaksin ini dapat tersedia untuk digunakan sesegera akhir Februari jika FDA dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) memberi persetujuan akhir bagi penggunaan darurat.
Sementara itu, perusahaan farmasi berbasis di AS lainnya, Novavax, Senin (31/1), mengumumkan bahwa pihaknya telah mengajukan permintaan kepada FDA agar memberi persetujuan bagi vaksin COVID-19nya yang telah lama tertunda-tunda untuk penggunaan darurat.
Vaksin dua dosis Novavax dikembangkan dengan metode konvensional yang menggunakan protein untuk mengajari sistem kekebalan tubuh cara mengenali dan memblokir virus corona. Uji klinis mengungkapkan vaksin ini sekitar 90 persen efektif dalam memberikan imunitas yang memadai untuk melindungi versi awal penyakit itu dan varian-variannya. Para pakar menyatakan teknologi dapat menarik orang-orang yang semula enggan divaksinasi dengan vaksin yang dikembangkan oleh Pfizer atau Moderna yang menggunakan teknologi messenger RNA yang lebih canggih.
Novavax menerima 1,6 miliar dolar dari pemerintah AS melalui Operation Warp Speed, program yang diciptakan di bawah pemerintahan mantan presiden AS Donald Trump untuk mengembangkan dengan cepat vaksin virus corona, tetapi menghadapi banyak penundaan karena kurangnya kapasitas produksi. Vaksin ini telah mendapat otorisasi di Indonesia, Korea Selatan, India dan Badan Kedokteran Eropa, regulator obat bagi 27 negara anggota Uni Eropa.
Vaksin ini diperkirakan akan memainkan peran penting dalam meningkatkan pasokan vaksin bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah karena vaksin itu tidak perlu disimpan di suhu yang sangat dingin, tidak seperti vaksin buatan Pfizer atau Moderna.
Suatu laporan yang dirilis pada Selasa (1/2) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan pandemi virus corona telah menciptakan puluhan ribu ton limbah medis tambahan, seperti jarum suntik, semprit dan ampul obat bekas. Laporan itu mendapati bahwa sebagian besar dari 87 ribu ton APD, seperti masker dan sarung tangan karet, yang diperoleh melalui prakarsa darurat PBB antara Maret 2020 dan November 2021 berakhir sebagai sampah.
Laporan WHO menyebutkan bahan yang dibuang yang membuat para tenaga kesehatan berisiko mengalami cedera karena pekerjaan itu antara lain jarum suntik, dan kuman penyebab penyakit. Komunitas di dekat tempat pembuangan sampah akhir yang dikelola dengan buruk juga berisiko oleh udara dan air yang tercemar dari limbah yang dibakar dan hewan pembawa penyakit. [uh/ab]