Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 sudah ditunda oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemerintah dan DPR, dari 29 September ke tanggal 9 Desember. Melihat jumlah kasus infeksi virus corona yang terus naik, sejumlah pihak mendesak penundaan kembali. Namun, sejauh ini belum ada wacana untuk menerima desakan tersebut.
Sikap pemerintah setidaknya bisa dibaca dari penyataan Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden, Sigit Pamungas. Dia menyampaikannya dalam seminar yang bertajuk "Pilkada Serentak 2020 dalam Perspektif HAM" yang diselenggarakan Komnas HAM, Selasa (20/10).
“Korea Selatan sebelum pemilihan, tren mereka turun. Setelah pemilihan, trennya juga turun. Yang disebut dengan klaster Pemilu di Korea ini tidak terjadi. Sedangkan di Trinidad dan Tobago, sebelum pemilihan tren naik, setelah pemilihan juga naik. Artinya, ini boleh jadi tidak ada kaitannya dengan pemilihan itu,” kata Sigit.
Sigit memaparkan cuplikan data itu untuk menyatakan bahwa naik atau turunnya kasus adalah sebuah tren tersendiri dan tidak terkait pemilu. Soal kekhawairan pandemi menekan jumlah pemilih di TPS, dijawab Sigit dengan data dari International IDEA. Menurut data tersebut, di sejumlah negara yang menggelar pemilu saat ini, jumlah pemilih ada yang turun, tetapi ada juga yang naik.
“Wajar sebagian masyarakat khawatir hadir, tetapi ada juga yang tetap optimis menyelenggarakan pemilu dan datang ke TPS. Ini titik penting bagi penyelenggara pemilihan, mensosialisasikan dan memastikan kebijakan yang sudah dibuat, dilaksanakan dengan baik,” tambah Sigit.
Pemerintah mencatat, pada awal proses pendaftaran calon kepala daerah, pelanggaran protokol kesehatan tinggi. Namun, dalam proses penetapan calon dan nomor urut, pelanggaran yang terjadi kecil. KPU dinilai Sigit, mampu melakukan sosialisasi protokol kesehatan dan menerapkan sanksi dengan baik. Sigit juga mengakui, ada sejumlah komisioner KPU daerah yang terpapar corona. Namun, harus diteliti lebih dalam, apakah mereka terpapar karena kegiatan KPU atau dalam kesempatan yang terpisah.
Penambahan Tes Diperlukan
Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, menyebut penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi sebenarnya penuh risiko. Namun, karena sudah diputuskan tetap diselenggarakan, dia menggarisbawahi perlindungan yang lebih bagi penyelenggara dan peserta. Lebih jauh, Pandu meminta pemerintah menyusun skenario apa yang harus dilakukan jika ada yang sakit, atau bahkan meninggal dalam proses ini.
Pandu juga menekankan pentingnya skrining luas di daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pilkada, saat ini hingga Desember.
“Saya menyarankan di wilayah-wilayah yang terdapat pilkada, jumlah testing-nya ditingkatkan dan menjadi prioritas, karena dengan testing itu, kita mampu mengidentifikasi orang yang terinfeksi, melakukan pelacakan, dan isolasi. Supaya di bulan Desember nanti, lebih sedikit kasusnya karena sebagian sudah teridentifikasi,” ujar Pandu
Dengan penambahan jumlah tes, Pandu yakin penularan akan lebih cepat diketahui. Dengan begitu, angka kasus juga dapat ditekan. Langkah ini harus dilakukan di semua wilayah pelaksana Pilkada, tanpa memandang prioritas atau bukan.
“Dengan demikian, ini pilihan yang tidak bisa ditawar lagi, kalau kita serius ingin membuat pilkada yang aman. Pemerintah harus investasi kesana, itu yang saya belum lihat walaupun sudah diusulkan,” lanjut Pandu.
Agar adil, Pandu juga meminta penyelenggara pilkada memikirkan mekanisme pemberian suara untuk mereka yang sedang terinfeksi pada hari pelaksanaan. Misalnya, bagaimana mereka yang sedang diisolasi dapat memberikan suara, tanpa membahayakan penyelenggaranya juga.
Hak Demokrasi dan Kesehatan
Soal pelaksanaan Pilkada yang aman ini juga menjadi perhatian Komnas HAM. Amirudin, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM mengatakan, jaminan harus diberikan terkait demokrasi dan kesehatan.
“Kami dari Komnas HAM selalu mengajak semua pihak, sesungguhnya agar kita sama-sama memperhatikan dalam proses Pilkada ini, kebebasan memilih mesti bisa dijaga kualitasnya, dan protokol kesehatan juga bisa ditingkatkan kepatuhannya,” kata Amirudin.
Amirudin juga memastikan Komnas HAM belajar banyak dari pengalamn Korea Selatan dan Selandia Baru dalam pelaksanaan Pemilu mereka. Namun, pengalaman itu disesuaikan dengan karakter masyarakat Indonesia sendiri. Termasuk bahwa pilkada di Indonesia yang akan diselenggarakan dalam skala lebih luas, yaitu di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Amirudin mengatakan, Pilkada akan mendorong pergerakan manusia. Padahal virus corona ditularkan oleh pergerakan semacam itu. Di sisi lain, Bawaslu sudah menyampaikan bahwa kampanye daring ternyata tidak begitu diminati. Potensi pengumpulan massa pun masih terbuka dan karena itulah semua pihak harus memberi perhatian lebih.
Pemerintah daerah juga harus waspada serta bersiap. Jika memang terjadi lonjakan kasus, ada biaya yang harus ditanggung, baik oleh masyarakat maupun anggaran daerah.
“Kalau dari sekarang tidak mengantisipasi perkembangan, begitu pilkada selesai akan berhadapan dengan beban baru meningkatnya biaya kesehatan,” ujar Amirudin.
Sugeng Bahagijo dari Infid mengajukan tiga persoalan yang butuh solusi nyata dari penyelenggara pilkada. Dalam forum ini, Sugeng menanyakan apakah sudah tersedia protokol kesehatan khusus Pilkada. Jika sudah ada, apakah sudah diujicoba dan dilakukan evaluasi. Masalah kedua adalah tes kesehatan untuk semua penyelenggara Pilkada dengan biaya negara.
Persoalan ketiga adalah kesadaran, bahwa hak kesehatan dan hak hidup adalah hak asasi manusia.
“Dalam masa pandemi, dalam musim pilkada, dua hak utama yang harus kita lindungi adalah hak kesehatan dan hak hidup. Pertanyaannya, bagaimana itu dipastikan. Bagaimana kita melakukan persiapan yang nyata, mulai dari informasinya, mengelola perilaku melalui protokol kesehatan dan lebih penting dari itu, adalah memastikan sumber air dan tenaga yang akan mengawasi,” kata Sugeng.
Air secara khusus disebut Sugeng karena mencuci tangan ada dalam protokol yang ditetapkan pemerintah. Di sisi lain, akses terhadap air bersih di banyak daerah masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Penyelenggara Pilkada harus memastikan bahwa persoalan ini dapat diatasi.
Sementara Andy Yentriyani dari Komnas Perempuan dalam seminar ini banyak memotret pilihan isu dalam Pilkada, yang belum seimbang. Para calon kepala daerah, bukan hanya calon perempuan seharusnya menempatkan isu kekerasan terhadap perempuan secata menyatu dengan isu lain.
“Tetapi mengajak sebuah pemikiran, bahwa sebetulnya dia berkait dengan persoalan-persoalan yang bersifat makro dan struktural, karena itu upaya penghapusannya tidak bisa dilakukan setengah hati ataupun parsial,” kata Andy. [ns/ab]