Di hadapan ratusan warga penerima bantuan sosial, Walikota Solo, Hadi Rudyatmo, Rabu (2/12) pekan lalu mengingatkan masyarakat agar tidak takut menggunakan hak pilihnya di Pilkada Solo, 9 Desember. "Yang paling penting jangan lupa tanggal 9 Desember datang ke TPS sesuai jadwal di undangan. Tidak perlu takut ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Demi masa depan kota Solo," tegas Rudy.
Ajakan kepala daerah ini selaras dengan upaya personil penyelenggara pilkada, mulai dari petugas di tempat pemungutan suara (TPS), petugas KPUD, dan Bawaslu yang menjalani tes rapid dan tes usap mendeteksi virus COVID 19. Langkah ini untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka sudah berupaya keras mencegah penyebaran dan penularan virus corona. Personil yang terdeteksi positif COVID 19 akan diganti dengan personil lain yang dinyatakan negatif Covid.
Tak hanya penyelenggara Pilkada saja, aparat keamanan yang ditempatkan di lokasi pemungutan suara juga menjalani tes kesehatan serupa. Polresta Solo melakukan uji tes kesehatan pada ratusan personilnya yang akan melakukan pengamanan Pilkada 2020. Kapolresta Solo, Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak mengatakan tes ini untuk memberi rasa aman dan mengantisipasi penyebaran Covid 19 saat pemungutan suara hingga penetapan hasil perolehan suara.
Menurut Ade, Polresta akan selektif dalam menempatkan personil saat pengamanan Pilkada Solo 9 Desember mendatang. "Kita juga sudah melakukan tes rapid dan swab pada seluruh petugas pengamanan Pilkada. Mereka akan kita terjunkan saat pengamanan TPS 9 Desember besok," tegas Ade, pekan lalu.
Ade mengungkapkan tes khusus ini bukti bahwa Polri ingin memberikan jaminan keamanan, keselamatan, dari unsur aparat pengamanan Pilkada. "Kita siap berjibaku untuk mengamankan Pilkada, termasuk saat tahap pemungutan suara. Tentu saja personil dari sisi kompetensinya baik, juga dari sisi kesehatan terhindar dari Covid,” tambah Ade Safri.
Lebih dari 400 personil polisi di Solo menjalani tes Covid.
Solo menjadi salah satu dari 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang menggelar pilkada serentak 2020 ini.
Aturan Proses Pemungutan Suara di Masa Pandemi
Komisi Pemilihan Umum KPU telah menetapkan berbagai aturan khusus saat Pilkada di masa pandemi ini. Aturan itu mengatur rincian mulai dari pembatasan jumlah orang yang dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di suatu TPS, yang dibatasi maksimal 500 orang dan pembagian jadwal kedatangan menjadi lima kelompok. Langkah ini untuk mencegah kerumunan dan memisahkan kelompok rentan tertular Covid-19, yaitu warga lanjut usia dan warga yang memiliki penyakit bawaan atau komorbid.
Selain itu, di TPS wajib tersedia tempat cuci tangan dan sabun, hand sanitizer, sarung tangan plastik untuk pemilih, masker, face shield, tempat sampah, alat pengukur suhu tubuh, sarung tangan medis untuk petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), penyemprotan disinfektan lokasi TPS, hingga tinta celup diganti menjadi tinta tetes sebagai bukti sudah menggunakan hak pilih.
Warga yang memiliki hak pilih disyaratkan memakai masker, menjaga jarak, membawa dokumen bukti masuk Daftar Pemilih Tetap DPT, dan membawa bolpoin sendiri dari rumah.
Petugas berbaju Alat Pelindung Diri APD khusus juga akan mendatangi pemilih yang menjalani perawatan atau karantina karena terjangkit virus COVID 19 untuk menggunakan hak pilihnya.
Kritik Pilkada di Masa Pandemi
Upaya pemerintah dan penyelenggara pilkada menerapkan protokol kesehatan ini tetap disorot penggiat HAM. Juru bicara KontraS, Rivanlee Anandar, Senin (7/12) mengkritisi ketidakseriusan pemerintah mengatasi pandemi, yang dinilai akan membuat jumlah kasus baru Covid-19 akan melonjak.
"Pilkada 2020 ini terlalu dipaksakan karena sedang di masa pandemi. Apalagi kasus Covid harian sejak 3 Desember menembus 8 ribuan. Ini masih dalam tes kasus yang minim, artinya kalau tes itu diperluas lagi jumlah kasus harian akan lebih banyak kasus baru, terlebih saat Pilkada,” ujar Rivan.
Rivan juga menyoroti penegakan protokol kesehatan di masa kampanye di mana banyak calon dan pendukung yang sama-sama melanggar protokol kesehatan.
Data Kontras menunjukkan selain pelanggaran protokol kesehatan dan potensi penyebaran Covid-19, pilkada di masa pandemi ini juga memicu angka kekerasan dan penyalahgunaan wewenang aparatur sipil negara dan kepala daerah. [ys/em]