Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, menepis seruan untuk mengundurkan diri, dan menantang musuh-musuh politik yang ingin menggulingkan dirinya dari kekuasaan. Boris Johnson menyampaikan hal tersebut pada Rabu (25/9), dalam sebuah sesi parlemen yang berlangsung kacau. Hal tersebut terjadi sehari setelah pengadilan tertinggi Inggris memutuskan Boris Johnson bertindak melanggar hukum dengan perintah penutupan parlemen menjelang tenggat waktu Brexit.
Di tengah-tengah teriakan, kemarahan, dan perintah berulang-ulang untuk tertib di House of Commons, Johnson membela mati-matian tujuannyanya untuk menarik Inggris dari Uni Eropa pada 31 Oktober. Inggris akan tetap hengkang, baik dengan persetujuan dari Uni Eropa maupun tidak.
“Saya katakan, waktunya tiba untuk menyelenggarakan Brexit,” katanya. Ia menuduh lawan-lawannya untuk mengacaukan keinginan rakyat Inggris. Pada 2016 Inggris memutuskan untuk meninggalkan blok beranggotakan 28 negara itu lewat sebuah referendum. Hasil referendum tersebut menghasilkan 52 persen sepakat untuk hengkang dari Uni Eropa, dan sisanya 48 persen menolak.
Johnson disambut dengan tepuk tangan dari rekan-rekan Partai Konservatifnya, dan cemoohan dari pihak oposisi ketika tiba di parlemen.
Johnson mempersingkat kunjungan ke Sidang Umum PBB di New York, setelah Mahkamah Agung Inggris pada Selasa secara bulat memutuskan upayanya untuk menghentikan kegiatan parlemen selama lima minggu berdampak melumpuhkan pengawasan terhadap rencana Brexit oleh pemerintah. Pengadilan imembatalkan keputusan Boris Johnson itu. [jm/pp]