Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan menjelaskan rencananya dalam menghadapi perubahan di kawasan Arab dan tekanan yang meningkat dari dalam dan luar negeri untuk berdamai dengan Palestina.
Pejabat Israel mengatakan terlalu dini untuk menyatakan perubahan apa yang akan terjadi di kawasan Arab dengan terjadinya berbagai pemberontakan baru-baru ini, tetapi mereka khawatir pemerintahan yang lebih keras akan menggantikan pemerintahan yang digulingkan.
Berbicara di hadapan DPR, Senin, PM Netanyahu mengatakan dalam masa transisi ini, situasi di Israel mungkin akan lebih rumit dan penuh tantangan.
PM Netanyahu mengatakan Israel memandang bahwa Mesir, Suriah dan Libanon diperintah Hizbullah yang didukung Iran. Ia mengatakan demonstrasi ribuan warga Palestina di perbatasan Israel hari Minggu lalu sebagai upaya menyerang wilayah Israel dan membahayakan kedaulatan negara tersebut.
Gelombang protes ribuan warga Palestina yang terjadi, Minggu, di pos-pos perbatasan dan pemeriksaan di perbatasan Israel dan wilayah Palestina yang belum pernah terjadi sebelumnya menunjukkan kebangkitan bangsa Arab telah sampai ke Israel.
Pengorganisir demonstrasi tersebut menggunakan media Facebook dan media sosial lainnya untuk menggalang demonstran di Tepi Barat, Jalur Gaza , Libanon dan Suriah. Banyak yang menyebut diri mereka sebagai pengungsi Palestina yang ingin kembali ke tanah leluhur mereka di Israel.
PM Netanyahu mengatakan Israel ingin berdamai dengan Palestina dan ia membeberkan beberapa persyaratan hari Minggu. Tak satupun persyaratan itu menandakan adanya perubahan kebijakan atau konsesi menjelang kunjungannya ke Washington tersebut.
Pemimpin Israel tersebut mengatakan Palestina harus mengakui negara Israel dan membiarkan Yerusalem tidak terbagi dibawah kekuasaan Israel dan setuju negara Palestina tidak akan memiliki angkatan bersenjata. Ia juga menolak kembalinya pengungsi ke tanah Israel dan mengatakan kembalinya warga Palestina ke Israel mengancam keberadaan negara Israel.
PM Netanyahu mengatakan siap mengakui negara Palestina, tetapi tidak siap menerima bahwa pembentukan negara Palestina akan menghilangkan negara Israel.
Kesepakatan damai antara Faksi Fatah yang menguasai Tepi Barat dan kelompok militan Islam Hamas yang menguasai Gaza juga membuat pemimpin Israel tersebut prihatin.
Israel menolak berunding dengan pemimpin Palestina yang mengikutsertakan Hamas, yang dianggap Amerika sebagai organisasi teroris dan piagam dasarnya menyerukan kehancuran negara Israel.
Beverly Milton-Edwards adalah ilmuwan politik pada Universitas Queens di Belfast dengan spesialisasi kelompok Islam Palestina. Ia mengatakan, “Israel merasa sangat tidak aman dengan ancaman Hamas di Jalur Gaza apalagi jika digabungkan dengan ancaman yang dianggap Israel berasal dari kekuatan Islam lain di perbatasan selatan, terutama Hizbullah. Jadi, saya pikir ini akan menjelaskan mengapa sulit bagi Israel untuk percaya pada usul-usul perdamaian tersebut.”
Rencananya, pejabat-pejabat Palestina juga akan berada di Washington pada saat yang sama dengan PM Netanyahu dan diharapkan keduanya akan membuat langkah baru untuk perjanjian damai.
Hubungan Amerika dan Israel tegang dalam masa pemerintahan Obama ini, karena pemerintahan Netanyahu mengabaikan tekanan Amerika agar Israel menghentikan pembangunan pemukiman di Tepi Barat.
Dengan semakin tak menentunya situasi di kawasan tersebut, banyak warga Israel yang mengamati seberapa jauh Netanyahu bersedia memperkuat hubungan dengan sekutu terbesar Israel ini.