Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh, Senin (13/11), menolak pendirian kamp sementara bagi pengungsi Palestina di Gaza. Ia menyerukan pemulangan mereka yang terpaksa mengungsi ke rumah mereka.
Dalam rapat kabinet di Ramallah, Tepi Barat yang diduduki, Shtayyeh menambahkan bahwa “dalam sejarah Palestina, tidak ada yang namanya ‘sementara.’ Pengalaman telah mengajarkan kami bahwa hal yang bersifat sementara adalah sesuatu yang permanen.”
Shtayyeh meminta PBB dan Uni Eropa “untuk mengirim bantuan melalui udara ke Jalur Gaza, khususnya di bagian utara, seperti yang terjadi dalam berbagai pengalaman di dunia.”
Mengenai rencana Siprus membangun koridor laut kemanusiaan ke Gaza, Shtayyeh mengatakan "kami ingin bantuan tiba, namun kami tidak bisa menerima bila warga kami dimasukkan ke kapal untuk dideportasi atas nama bantuan."
Perang tersebut, yang kini memasuki minggu keenam, dipicu oleh serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober yang belum pernah terjadi ke Israel. Respons Israel telah menimbulkan tingkat kematian dan kehancuran yang belum pernah terjadi terhadap 2,3 juta penduduk Palestina di Gaza. Hampir dua pertiga dari mereka harus meninggalkan rumah tanpa tersedia tempat perlindungan yang aman di wilayah yang terkepung.
Lebih dari 11.000 warga Palestina, dua pertiganya adalah perempuan dan anak di bawah umur, telah terbunuh sejak perang dimulai, menurut Kementerian Kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas. Mereka tidak membedakan antara kematian warga sipil dan militan. Kementerian itu adalah satu-satunya sumber resmi mengenai korban di Gaza.
Dalam perang-perang sebelumnya, penghitungan yang dilakukan kementerian itu sesuai dengan hasil hitungan badan pengawas PBB, penyelidikan independen, dan bahkan Israel.
Sekitar 2.700 orang dilaporkan hilang.
Setidaknya 1.200 orang telah terbunuh di pihak Israel, sebagian besar warga sipil tewas dalam serangan awal Hamas. Militan Palestina menyandera hampir 240 sandera yang ditangkap dalam serangan itu, termasuk laki-laki, perempuan, anak-anak dan orang lanjut usia.
Ribuan orang juga tampaknya telah meninggalkan rumah sakit terbesar di Gaza ketika pasukan Israel dan militan Palestina bertempur di luar gerbang rumah sakit tersebut. Ratusan pasien, termasuk puluhan bayi berisiko meninggal karena kekurangan listrik, kata pejabat kesehatan pada Senin.
Dalam sambutannya, Shtayyeh mengatakan "Israel menjadikan Rumah Sakit Shifa sebagai ibu kota Gaza. Jatuhnya Shifa berarti jatuhnya Gaza. Ini, kata Shtayyeh, hanyalah pembenaran untuk membunuh orang yang terluka, orang sakit, dokter, dan paramedis."
Israel mengklaim bahwa Hamas menempatkan aset militer di bawah rumah sakit dan situs sensitif lainnya seperti sekolah dan masjid. Israel telah menarget Shifa, mengklaim markas komando Hamas beroperasi dari bawah kompleks rumah sakit tersebut.
Hamas, dan Direktur Rumah Sakit Shifa Mohammed Abu Selmia, membantah klaim tersebut. [ka/ab]
Forum