ISTANBUL —
Perdana Menteri Turki mengecam media sosial dan berjanji merazia sarana tersebut dan penggunanya. Sudah ada yang ditahan dan aturan baru sedang disusun untuk membatasi penggunaan media sosial. Namun para pengamat mengklaim bahwa penggunaan media sosial akan meningkat di tengah bertambahnya kasus penyerangan polisi terhadap demonstran.
Pada akhir pekan lalu, Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan membantah kekhawatiran akan meningkatnya sikap otoriter pemerintahannya, dengan mengatakan bahwa kekacauan merupakan bagian dari konspirasi internasional besar yang sekarang menyertakan Brazil.
"Permainan yang dimainkan atas Brazil baru-baru ini merupakan permainan yang sama yang dimainkan terhadap Turki. Pesan-pesan di Twitter dan Facebook sama. Protes-protes (di Turki) dari awal dilakukan dengan tindakan yang buruk dan niat yang jahat. Mereka terus-terusan berbohong, terlibat dalam manipulasi yang berlanjut, menerbitkan berita bohong, melontarkan hinaan dan menginjak-injak keadilan," ujar Erdogan.
Erdogan menggambarkan media sosial sebagai ancaman besar terhadap masyarakat untuk menyebarkan kebohongan dan setengah kebenaran mengenai pemerintahannya. Menurut pemerintahan Erdogan, media sosial merupakan elemen kunci dalam plot internasional melawan dirinya. Pemerintah Turki menegaskan telah menjaring lima juta pesan di Twitter dan mempertimbangkan aturan Internet baru, selain memperluas kekuasaan lembaga mata-mata negara.
Emma Sinclair Webb, peneliti mengenai isu Turki dari kelompok hak asasi manusia yang berbasis di New York Human Rights Watch, mengatakan bahwa memang ada dasar hukum untuk mengontrol pesan-pesan di Twitter. Namun ia khawatir kekuasaan seperti itu dapat disalahgunakan.
"Pembatasan hak berbicara, pernyataan di Twitter dan menulis hanya dapat dilakukan jika hal-hal itu berisi ancaman langsung atau segera. Jadi ambang batasnya harus tinggi untuk pembatasan apa pun. Sayangnya, yang kita lihat di Turki selama bertahun-tahun, perbedaan pendapat bisa menjadi sesuatu yang dapat diadili di pengadilan, padahal seharusnya tidak boleh," ujar Webb.
Sebuah video yang memperlihatkan seorang demonstran yang kewalahan menghadapi lautan gas air mata di Alun-Alun Taksim, Istanbul, jantung demonstrasi di seluruh negeri, telah tersebar di Turki. Media sosial, terutama Facebook dan Twitter, digunakan oleh para pemrotes untuk mengekspos kekerasan polisi dan, seperti juga dalam gerakan kebangkitan Arab (Arab Spring), mereka memberikan sarana bagi para demonstran untuk mengorganisir diri.
Yaman Akdeniz, ahli kebebasan dunia maya di Bilgi University di Istanbul, mengatakan meski peran penting media sosial meningkat, ia khawatir akan serangan pemerintah.
"Orang-orang sekarang lebih banyak beralih ke media sosial karena ini satu wilayah tempat pihak berwenang tidak memiliki kontrol. Mereka tidak dapat melemparkan meriam air atau gas air mata di sarana sosial media," ujarnya.
"Namun saya sendiri tidak berharap pemerintah mengontrol media-media sosial. Tidak ada pemerintah yang berhasil melakukannya. Jadi saya kira mereka akan berkonsentrasi pada penuntutan, pada identifikasi orang, dan kemudian semua orang khawatir karena mereka tidak tahu apakah mereka akan diselidiki atau ditahan. Banyak orang yang ditahan di (kota-kota) Izmir dan Adana," ujar Akdeniz.
Stasiun televisi Turki pada Sabtu lalu memperlihatkan video mengenai polisi yang melakukan razia pada dini hari dan menahan 22 orang. Banyak orang yang telah ditahan karena menulis di Twitter.
Di kafe tengah kota Istanbul yang trendi, sekelompok demonstran dengan laptop dan tablet membahas apa langkah mereka selanjutnya. Dengan ditahannya sejumlah demonstran atas dasar undang-undang anti-teror dan kejahatan terorganisir, setiap orang sadar akan risiko yang diambil.
"Saya khawatir teman-teman dekat saya mungkin ditahan, dan mereka (pihak berwenang) mungkin mencoba memenjarakan beberapa orang ini seumur hidup. Saya khawatir dengan nasib banyak orang. Namun itu pada aspek pribadi. Saat saya lihat seluruh negeri, saya tidak khawatir lagi karena saya melihat orang-orang. Ini untuk pertama kalinya di negara ini orang-orang betul-betul memberontak untuk demokrasi, untuk semua orang," ujarnya.
Pada akhir pekan lalu, Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan membantah kekhawatiran akan meningkatnya sikap otoriter pemerintahannya, dengan mengatakan bahwa kekacauan merupakan bagian dari konspirasi internasional besar yang sekarang menyertakan Brazil.
"Permainan yang dimainkan atas Brazil baru-baru ini merupakan permainan yang sama yang dimainkan terhadap Turki. Pesan-pesan di Twitter dan Facebook sama. Protes-protes (di Turki) dari awal dilakukan dengan tindakan yang buruk dan niat yang jahat. Mereka terus-terusan berbohong, terlibat dalam manipulasi yang berlanjut, menerbitkan berita bohong, melontarkan hinaan dan menginjak-injak keadilan," ujar Erdogan.
Erdogan menggambarkan media sosial sebagai ancaman besar terhadap masyarakat untuk menyebarkan kebohongan dan setengah kebenaran mengenai pemerintahannya. Menurut pemerintahan Erdogan, media sosial merupakan elemen kunci dalam plot internasional melawan dirinya. Pemerintah Turki menegaskan telah menjaring lima juta pesan di Twitter dan mempertimbangkan aturan Internet baru, selain memperluas kekuasaan lembaga mata-mata negara.
Emma Sinclair Webb, peneliti mengenai isu Turki dari kelompok hak asasi manusia yang berbasis di New York Human Rights Watch, mengatakan bahwa memang ada dasar hukum untuk mengontrol pesan-pesan di Twitter. Namun ia khawatir kekuasaan seperti itu dapat disalahgunakan.
"Pembatasan hak berbicara, pernyataan di Twitter dan menulis hanya dapat dilakukan jika hal-hal itu berisi ancaman langsung atau segera. Jadi ambang batasnya harus tinggi untuk pembatasan apa pun. Sayangnya, yang kita lihat di Turki selama bertahun-tahun, perbedaan pendapat bisa menjadi sesuatu yang dapat diadili di pengadilan, padahal seharusnya tidak boleh," ujar Webb.
Sebuah video yang memperlihatkan seorang demonstran yang kewalahan menghadapi lautan gas air mata di Alun-Alun Taksim, Istanbul, jantung demonstrasi di seluruh negeri, telah tersebar di Turki. Media sosial, terutama Facebook dan Twitter, digunakan oleh para pemrotes untuk mengekspos kekerasan polisi dan, seperti juga dalam gerakan kebangkitan Arab (Arab Spring), mereka memberikan sarana bagi para demonstran untuk mengorganisir diri.
Yaman Akdeniz, ahli kebebasan dunia maya di Bilgi University di Istanbul, mengatakan meski peran penting media sosial meningkat, ia khawatir akan serangan pemerintah.
"Orang-orang sekarang lebih banyak beralih ke media sosial karena ini satu wilayah tempat pihak berwenang tidak memiliki kontrol. Mereka tidak dapat melemparkan meriam air atau gas air mata di sarana sosial media," ujarnya.
"Namun saya sendiri tidak berharap pemerintah mengontrol media-media sosial. Tidak ada pemerintah yang berhasil melakukannya. Jadi saya kira mereka akan berkonsentrasi pada penuntutan, pada identifikasi orang, dan kemudian semua orang khawatir karena mereka tidak tahu apakah mereka akan diselidiki atau ditahan. Banyak orang yang ditahan di (kota-kota) Izmir dan Adana," ujar Akdeniz.
Stasiun televisi Turki pada Sabtu lalu memperlihatkan video mengenai polisi yang melakukan razia pada dini hari dan menahan 22 orang. Banyak orang yang telah ditahan karena menulis di Twitter.
Di kafe tengah kota Istanbul yang trendi, sekelompok demonstran dengan laptop dan tablet membahas apa langkah mereka selanjutnya. Dengan ditahannya sejumlah demonstran atas dasar undang-undang anti-teror dan kejahatan terorganisir, setiap orang sadar akan risiko yang diambil.
"Saya khawatir teman-teman dekat saya mungkin ditahan, dan mereka (pihak berwenang) mungkin mencoba memenjarakan beberapa orang ini seumur hidup. Saya khawatir dengan nasib banyak orang. Namun itu pada aspek pribadi. Saat saya lihat seluruh negeri, saya tidak khawatir lagi karena saya melihat orang-orang. Ini untuk pertama kalinya di negara ini orang-orang betul-betul memberontak untuk demokrasi, untuk semua orang," ujarnya.