Pada awal tahun lalu, Raja Abdullah memecat kepala polisi agama saat itu dan menggantinya dengan seorang moderat. Langkah tersebut merupakan respon atas indikasi penyalahgunaan kekuasaan oleh kelompok yang dikenal dengan sebutan mutaween.
Sejak saat itu, sang pemimpin baru, Sheikh Abdul Latif Abdul Aziz Al-Sheikh, mulai membatasi otoritas mutaween. Walaupun begitu, di mata warga Saudi terutama kaum perempuannya, perubahan tersebut dipandang belum mencukupi.
Tiada hari berlalu tanpa kabar mengenai aktivitas polisi agama Arab Saudi di media. Mereka menggerebek jaringan narkoba, menahan para pembuat minuman keras, dan merazia perempuan yang berpakaian kurang tertutup menurut mereka. Tak jarang mutaween menjadi sasaran olok-olok, seperti ketika mereka menutup sebuah pameran dinosaurus di sebuah pusat perbelanjaan dan melarang warga memelihara kucing dan anjing.
Terkadang, tindakan mutaween berujung pada tragedi, seperti yang terjadi ketika sebuah sekolah di Mekkah terbakar pada bulan Maret 2002. Polisi agama menghalangi-halangi penyelamatan sebagian siswi karena mereka dianggap berpakaian kurang pantas. Setidaknya 14 murid perempuan terbakar hidup-hidup, memicu kemarahan dari seluruh dunia.
Akar sejarah
Polisi agama sudah ada di negara Islam konservatif Arab Saudi sejak sekitar dua abad lalu. Kalangan Wahhabi yang fundamentalis di abad XIX merupakan yang pertama kali membentuk kepolisian agama untuk menegakkan hukum agama yang menurut mereka diabaikan di bawah Kekaisaran Ottoman. Mutaween menggiring warga ke masjid saat waktu sholat, memastikan warga tidak merokok, minum minuman keras, bermain musik, dan menghukum kaum perempuan yang tidak berpakaian sesuai peraturan.
Putri Basmah bint Saud Al-Saud yang kini tinggal di London, memberi versi lain mengenai akar sejarah mutaween. Menurutnya, mutaween sudah terlebih dahulu ada di Saudi, dan petugas pertamanya adalah seorang perempuan bernama Shifa bint Abdullah bin Abd Shams.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, Shifa bekerja sebagai seorang perawat dan guru. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Shifa ditunjuk sebagai pengawas pasar di Madinah, bertanggung jawab memantau perdagangan yang berlangsung dan mencegah aksi kecurangan, pemalsuan dan pelanggaran lainnya.
"Ia datang ke pasar setiap pagi membawa sebuah tongkat besar," ujar Basmah, "mengusir laki-laki yang menggangu perempuan atau pembeli lainnya."
Kakek Basmah, pendiri kerajaan modern Saudi, Abdulaziz Al Saud, yang kemudian membentuk Komite Perlindungan Nilai-nilai dan Pencegahan Kejahatan, yang disebut warga lokal sebagai Hai’a. Komite dibentuk untuk memberantas aktivitas perdagangan ilegal, seperti yang dilakukan Shifa, tanpa tugas menegakkan moralitas. Basmah menyebut hijrahnya banyak anggota Ikhwanul Muslimin dari Mesir pada tahun 1950an, mulai menyulut intoleransi beragama ke Arab Saudi. Di bawah pengaruh mereka, menurut Basmah, mutaween mulai menetapkan peraturan mereka sendiri.
Namun bukankah mereka seharusnya diawasi oleh kerajaan? Jawab Basmah, "Seiring waktu, mudah bagi kita untuk kehilangan pegangan." Basmah mengibaratkan hubungan kerajaan dengan mutaween, seperti orangtua yang tak lagi punya kendali atas perilaku anak-anaknya.
Reformasi Sungguhan?
Ali AlYami, Direktur Eksekutif Center for Democracy and Human Rights in Saudi Arabia di Washington, DC, meragukan penjelasan Basmah bahwa Hai'a dibentuk hanya untuk menegakkan praktek perdagangan yang adil.
"Bila kakeknya hanya bermaksud memberantas kecurangan perdagangan, mengapa ia tidak membentuk institusi non-agamis dengan kekuasaan legislatif yang dapat meloloskan UU melarang kecurangan dan eksploitasi?" tanya AlYami.
Menurutnya, Wahhabi dan keluarga kerajaan menjadi sekutu pada tahun 1744 dengan tujuan menyebarkan interpretasi Islam yang kaku di jazirah Arab. Mereka terus bersekutu sejak itu.
"Hai'a adalah perangkat paling penting dalam mempertahankan kekuasaan keluarga kerajaan. Mereka membutuhkan satu sama lain untuk tetap berkuasa," ujar AlYami.
AlYami skeptis pemimpin baru Hai'a berniat untuk mereformasi kepolisian agama, lebih dari sekedar perubahan yang bersifat kosmetik.
"Anda harus mengerti, Al-Sheikh dipilih bukan karena ia seorang reformis dalam arti apapun. Ia dekat dengan keluarga kerajaan, dan ia adalah keturunan anggota gerakan Wahhabi. Pada dasarnya, ia dipilih karena ia lebih terpercaya dari pemimpin sebelumnya untuk memastikan kelanggengan kekuasaan keluarga kerajaan."
Sejak saat itu, sang pemimpin baru, Sheikh Abdul Latif Abdul Aziz Al-Sheikh, mulai membatasi otoritas mutaween. Walaupun begitu, di mata warga Saudi terutama kaum perempuannya, perubahan tersebut dipandang belum mencukupi.
Tiada hari berlalu tanpa kabar mengenai aktivitas polisi agama Arab Saudi di media. Mereka menggerebek jaringan narkoba, menahan para pembuat minuman keras, dan merazia perempuan yang berpakaian kurang tertutup menurut mereka. Tak jarang mutaween menjadi sasaran olok-olok, seperti ketika mereka menutup sebuah pameran dinosaurus di sebuah pusat perbelanjaan dan melarang warga memelihara kucing dan anjing.
Terkadang, tindakan mutaween berujung pada tragedi, seperti yang terjadi ketika sebuah sekolah di Mekkah terbakar pada bulan Maret 2002. Polisi agama menghalangi-halangi penyelamatan sebagian siswi karena mereka dianggap berpakaian kurang pantas. Setidaknya 14 murid perempuan terbakar hidup-hidup, memicu kemarahan dari seluruh dunia.
Akar sejarah
Polisi agama sudah ada di negara Islam konservatif Arab Saudi sejak sekitar dua abad lalu. Kalangan Wahhabi yang fundamentalis di abad XIX merupakan yang pertama kali membentuk kepolisian agama untuk menegakkan hukum agama yang menurut mereka diabaikan di bawah Kekaisaran Ottoman. Mutaween menggiring warga ke masjid saat waktu sholat, memastikan warga tidak merokok, minum minuman keras, bermain musik, dan menghukum kaum perempuan yang tidak berpakaian sesuai peraturan.
Putri Basmah bint Saud Al-Saud yang kini tinggal di London, memberi versi lain mengenai akar sejarah mutaween. Menurutnya, mutaween sudah terlebih dahulu ada di Saudi, dan petugas pertamanya adalah seorang perempuan bernama Shifa bint Abdullah bin Abd Shams.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, Shifa bekerja sebagai seorang perawat dan guru. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Shifa ditunjuk sebagai pengawas pasar di Madinah, bertanggung jawab memantau perdagangan yang berlangsung dan mencegah aksi kecurangan, pemalsuan dan pelanggaran lainnya.
"Ia datang ke pasar setiap pagi membawa sebuah tongkat besar," ujar Basmah, "mengusir laki-laki yang menggangu perempuan atau pembeli lainnya."
Kakek Basmah, pendiri kerajaan modern Saudi, Abdulaziz Al Saud, yang kemudian membentuk Komite Perlindungan Nilai-nilai dan Pencegahan Kejahatan, yang disebut warga lokal sebagai Hai’a. Komite dibentuk untuk memberantas aktivitas perdagangan ilegal, seperti yang dilakukan Shifa, tanpa tugas menegakkan moralitas. Basmah menyebut hijrahnya banyak anggota Ikhwanul Muslimin dari Mesir pada tahun 1950an, mulai menyulut intoleransi beragama ke Arab Saudi. Di bawah pengaruh mereka, menurut Basmah, mutaween mulai menetapkan peraturan mereka sendiri.
Namun bukankah mereka seharusnya diawasi oleh kerajaan? Jawab Basmah, "Seiring waktu, mudah bagi kita untuk kehilangan pegangan." Basmah mengibaratkan hubungan kerajaan dengan mutaween, seperti orangtua yang tak lagi punya kendali atas perilaku anak-anaknya.
Reformasi Sungguhan?
Ali AlYami, Direktur Eksekutif Center for Democracy and Human Rights in Saudi Arabia di Washington, DC, meragukan penjelasan Basmah bahwa Hai'a dibentuk hanya untuk menegakkan praktek perdagangan yang adil.
"Bila kakeknya hanya bermaksud memberantas kecurangan perdagangan, mengapa ia tidak membentuk institusi non-agamis dengan kekuasaan legislatif yang dapat meloloskan UU melarang kecurangan dan eksploitasi?" tanya AlYami.
Menurutnya, Wahhabi dan keluarga kerajaan menjadi sekutu pada tahun 1744 dengan tujuan menyebarkan interpretasi Islam yang kaku di jazirah Arab. Mereka terus bersekutu sejak itu.
"Hai'a adalah perangkat paling penting dalam mempertahankan kekuasaan keluarga kerajaan. Mereka membutuhkan satu sama lain untuk tetap berkuasa," ujar AlYami.
AlYami skeptis pemimpin baru Hai'a berniat untuk mereformasi kepolisian agama, lebih dari sekedar perubahan yang bersifat kosmetik.
"Anda harus mengerti, Al-Sheikh dipilih bukan karena ia seorang reformis dalam arti apapun. Ia dekat dengan keluarga kerajaan, dan ia adalah keturunan anggota gerakan Wahhabi. Pada dasarnya, ia dipilih karena ia lebih terpercaya dari pemimpin sebelumnya untuk memastikan kelanggengan kekuasaan keluarga kerajaan."