Tautan-tautan Akses

Polisi Tangkap Penyebar ‘Selebaran Rasul’ di Garut


Ilustrasi Kitab Suci Al-Quran (foto: VOA/Rio Tuasikal).
Ilustrasi Kitab Suci Al-Quran (foto: VOA/Rio Tuasikal).

Polisi menetapkan seorang tersangka penistaan agama di Garut, Jawa Barat. Lelaki yang ditangkap polisi itu merupakan pengikut Sensen Komara, pria yang mengaku nabi sejak 2012.

Polisi menangkap Hamdani asal Kecamatan Caringin, Garut, hari Sabtu (15/6), karena menyebarkan ratusan selebaran tentang rasul Sensen. Polisi mengatakan penangkapan itu karena “banyak yang lapor meresahkan.”

“Dia membuat tulisan—selebaran—di kertas yang intinya menyampaikan kaitan Sensen sebagai Rasul dan Negara Islam Indonesia,” ujar Kapolres Garut Budi Satria Wiguna ketika dihubungi VOA, Selasa (18/6) malam.

Polisi menjerat Hamdani dengan Pasal 156a KUHP tentang penistaan agama dan Pasal 64 KUHP tentang perbuatan berulang. Hamdani diancam penjara maksimal 5 tahun.

“Dan kebetulan memang salah satu yang pernah tersangkut juga di kasus Sensen yang pertama,” tambah Budi.

Polisi, ujarnya, terus mendalami motif Hamdani menyebarkan kertas itu.

“Sementara kami lagi dalami hasil penyidikan yang dilakukan oleh anggota Reskrim kami. Belum menyangkut ke tersangka-tersangka lain atau calon tersangka lain karena orang ini melakukan aksinya sendiri.

Mengaku Sebagai Nabi, Sensen Komara Ditangkap Tahun 2012

Nama Sensen Komara mencuat pada 2012, ketika pria asal Garut itu mengaku sebagai nabi dan rasul. Pada saat itu, Sensen ditangkap dengan pasal penistaan agama.

Namun Pengadilan Negeri (PN) Garut memvonisnya dengan rehabilitasi di rumah sakit. Sebab, yang bersangkutan dalam sidang terbukti “memiliki gangguan jiwa”. Sementara para pengikutnya diminta untuk wajib lapor. Kegiatan komunitas ini tidak begitu terdengar sampai kasus Hamdani muncul.

Hamdani juga ditelusuri kemungkinan melakukan makar karena menyebut Sensen Komara sebagai “Presiden Pusat Indonesia”. Hamdani sendiri mengaku sebagai Menteri Perindustrian dalam pemerintahan itu.

Polisi Tangkap Penyebar ‘Selebaran Rasul’ di Garut
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:59 0:00

Kelompok Sipil Kritik Penggunaan Pasal Penodaan Agama

Sejumlah kelompok sipil mengkritik penggunaan pasal penistaan agama itu. Kepala Departemen Sipil LBH Bandung, Harold Aron, mengatakan pasal ini sering diarahkan kepada minoritas keagamaan. Pihaknya mencatat, penistaan agama juga pernah menjerat lelaki di Indramayu, Jawa Barat.

“Yang Indramayu, karena dia convert (pindah agama), lalu memberikan pernyataan. Kemudian dilaporkan dengan penodaan agama,” ujarnya saat dihubungi terpisah.

Harold menekankan, polisi perlu bijaksana dalam menghadapi dugaan penodaan agama. Apakah orang tersebut berniat menghina atau hanya memiliki perbedaan tafsir.

“Apakah dia mempunyai keyakinannya sendiri atau memiliki beda tafsiran dengan agama Islam secara mayoritas?” pungkasnya.

Sementara itu, Peneliti Setara Institute, Halili, mengatakan pasal itu bersifat karet yang bisa ditafsirkan bermacam-macam.

“Dia bisa dengan sangat mudah digunakan untuk banyak sekali konteks tindakan yang unsur pidananya tidak jelas. Jadi, asal nyerempet soal keyakinan dan agama, digunakanlah pasal ini,” ujarnya kepada VOA.

Dalam catatan Setara, ada 97 kasus penodaan agama dari 1965 hingga 2017. Dari angka tersebut, 76 kasus selesai lewat meja hijau sementara 21 selesai di luar persidangan.

Pasal penodaan agama pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi pada 2010, oleh 7 organisasi hak sipil termasuk Setara dan 4 individu termasuk mendiang mantan presiden Abdurrahman Wahid. Namun MK menolak seluruhnya gugatan tersebut.

Meski masih berlaku, Halili berharap polisi menghentikan penggunaan pasal ini untuk sementara waktu. Dia mendorong polisi fokus ke ujaran kebencian yang dampaknya lebih jelas.

“Mempersoalkan tindakan seperti mengancam, menghasut, menyebarkan ujaran kebencian, yang tindakan dan dampaknya. Itu jauh lebih terukur dan terlihat,” tambahnya. (rt/em)

Recommended

XS
SM
MD
LG