Peneliti senior LIPI Prof. Syamsuddin Haris mengatakan masuknya Kiai Haji Ma’ruf Amin ke dalam ranah politik sebagai cawapres Joko Widodo berpotensi menimbulkan politisasi ulama dan politisasi agama.
Padahal di dalam sejarahnya, ulama memiliki tempat yang istimewa di kalangan umat, yaitu sebagai penjaga dan pengawal hati umat. Maka dari itu, bila seorang ulama masuk ke dalam ranah politik dikhawatirkan bisa mendegradasikan posisi ulama itu sendiri. Karena menurutnya, agama tidak bisa dicampuradukan dengan politik.
“Sebab, kalau ulama berpihak pada salah satu, berpotensi penyalahgunaan atau bahasa populernya politisasi keulamaan menjadi tinggi, atau dalam bahasa yang umum juga potensi politisasi agama itu jadi cenderung tinggi. Tapi, itulah fenomena kehidupan politik bangsa kita belakangan ini,” kata Syamsuddin.
Hal itu disampaikan Syamsuddin dalam Seminar Nasional Perhimpunan Pendidikan Pancasila dan Demokrasi (P3D) , dengan tema: Posisi dan Peran Ulama di Pilpres 2019: Antara Kepentingan dan Kekuasaan, di D Hotel , Jakarta, Kamis, (11/10).
Meski begitu, Syamsuddin menjelaskan bukan berarti ulama tidak boleh masuk ke ranah politik. Menurutnya, siapa saja bisa masuk terjun ke dunia politik. Namun ketika seorang ulama masuk ke politik, maka dia harus berhenti menjadi seorang ulama. Seperti halnya Kiai Haji Ma’ruf Amin harus berhenti menjadi ulama dan Ketua MUI, agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan.
“Masalahnya bukan apakah ulama boleh atau tidak boleh menjadi cawapres. Tapi poin saya bahwa ketika ulama menjadi cawapres, dia musti berhenti sebagai ulama,” kata Syamsuddin. “Dalam konteks Pak Ma’ruf Amin, beliau musti mundur sebagai Ketua MUI , beliau juga musti mundur dari PBNU ,itu konsekuensi logis saja. Mustinya demikian, supaya tidak merusak konsep ulama itu sendiri,” katanya menambahkan.
Sementara itu, Wakil Dekan Fisip UIN Jakarta Dr. A Bakir Ihsan khawatir masuknya ulama dalam ranah politik, berpotensi memecah belah persatuan bangsa. Menurutnya, pemahaman masyarakat Indonesia khususnya dalam berpolitik mayoritas masih minim. Jadi masyarakat mudah dimanfaatkan demi kepentingan suatu kelompok tertentu. Tentunya ini bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
“Sehingga yang terjadi adalah politisasi agama. Dan ini kalau dibiarkan akan mengancam terhadap agenda kebhinekaan kita. Karena bukan persoalan antara Islam dan non muslim saja. Bahkan internal Islam pun kemudian politik dijadikan alat meraih kepentingan kelompoknya, ini potensi konfliknya sangat besar dan berbahaya,” kata Bakir.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen Pasca Sarjana UI Dr. Mohammad Nasih mengatakan sebenarnya agama dan politik itu tidak bisa dipisahkan. Hal tersebut tertera di dalam Al-Quran, bahwa negara atau politik merupakan sarana untuk menyalurkan ajaran-ajaran agama.
Nasih menjelaskan, dalam sejarah Islam disebutkan beberapa Nabi, seperti Nabi Muhammad, Nabi Daud dan lain-lain merupakan politisi yang berfungsi menyebarkan ajaran Al-Quran kepada para umat seperti menegakan hukum dengan kebenaran kepada manusia.
”Kalau dalam konteks sekarang, tadi saya bilang negara itu berfungsi sebagai transformator. Politisi berfungsi sebagai transformator ide-ide atau perintah Tuhan yang ada dalam kitab suci, ke dalam praktik kehidupan politik bernegara,” kata Mohammad Nasir. “Berarti, politisi itu berfungsi untuk mentransformasikan ajaran-ajaran agama itu menjadi Undang-Undang,” ujarnya.
Maka dari itu, menurutnya, tidak ada salahnya ulama terjun ke dalam ranah politik, selama mengikuti ajaran yang tertera di dalam Al-Quran.