Jutaan warga Amerika merayakan keputusan Mahkamah Agung AS hari Jumat (26/6) yang menetapkan bahwa pasangan sesama jenis memiliki hak untuk menikah di seluruh 50 negara bagian di wilayah Amerika. Namun, jutaan warga yang lain juga terkejut dan marah, termasuk para bakal calon Presiden dari Partai Republik, para anggota Kongres Partai Republik, tokoh-tokoh konservatif dan beberapa kelompok agama.
Dalam pidatonya tak lama setelah keluarnya keputusan, Presiden Obama menyebut keputusan ini "sebuah kemenangan bagi Amerika", namun Obama juga menyadari bahwa banyak warga AS lainnya yang tidak merayakan keputusan ini.
"Saya sadar bahwa warga Amerika akan terus berbeda pandangan dalam isu ini. Perbedaan pendapat dalam banyak kasus didasari oleh keyakinan yang tulus dan mendalam. Semua pihak yang menyambut baik berita hari ini haruslah menyadari fakta tersebut, mengakui sudut pandang yang berbeda, (dan tetap) menghormati komitmen kita yang mendalam mengenai kebebasan beragama."
Berbagai tanggapan segera muncul dari tokoh-tokoh konservatif, termasuk Tony Perkins, Presiden organisasi "Family Research Council" atau Dewan Riset Keluarga, yang menyebut keputusan tersebut sebagai penyalahgunaan wewenang oleh Mahkamah Agung.
Ia mengatakan, "Pernikahan berakar tidak hanya dalam sejarah manusia, tetapi juga dalam realitas biologis dan sosial, bahwa anak-anak kita dilahirkan, dan akan menjadi yang terbaik jika dibesarkan, oleh seorang ibu dan ayah."
"Tidak ada keputusan pengadilan (Mahkamah Agung) yang dapat mengubah fakta ini. Adalah bodoh jika MA berpikir bahwa mereka telah menyelesaikan isu kontroversial dalam kebijakan publik. Dengan mengabaikan hak pilih 50 juta orang Amerika, MA justru memperbesar isu ini," tambah Perkins.
Ketua DPR AS Mengaku Kecewa
Ketua DPR AS, yang berasal dari Partai Republik, John Boehner mengeluarkan pernyataan bahwa dia "kecewa Mahkamah Agung AS telah mengabaikan kehendak mereka yang terpilih secara demokratis dari jutaan orang Amerika dengan memaksa negara-negara bagian untuk mendefinisikan kembali institusi perkawinan."
Keputusan Mahkamah Agung AS hari Jumat (26/6) membatalkan larangan pernikahan gay yang telah diberlakukan di beberapa negara bagian AS. Beberapa dari larangan tersebut sudah dibatalkan oleh putusan pengadilan di tingkat yang lebih rendah.
Salah satu tanggapan yang paling keras berasal dari bakal calon presiden Partai Republik dan mantan Gubernur Arkansas Mike Huckabee, yang mencatat bahwa suara Mahkamah Agung terpecah 5-4 (lima mendukung legalisasi pernikahan sesama jenis, berbanding empat yang menolak).
"Mahkamah Agung telah mengambil keputusan dengan suara yang sangat terpecah, pada sesuatu hal yang seharusnya merupakan hak (Tuhan) Yang Maha Tinggi, yaitu mendefinisikan pernikahan," kata Huckabee
"Saya tidak akan menyetujui keputusan Mahkamah Agung itu, seperti halnya para Bapak Pendiri Bangsa kita yang menolak sistem monarki Inggris. Kita harus melawan dan menolak tirani peradilan, bukan mundur," tegasnya.
Sementara, mantan Gubernur Florida Jeb Bush mengatakan, seharusnya Mahkamah Agung membiarkan negara-negara bagian yang membuat keputusan (soal pernikahan) ini. Namun, Bush mengatakan dia juga percaya bahwa "kita harus mengasihi sesama dan menghormati orang lain, termasuk orang-orang yang ingin membuat komitmen seumur hidup."
Gubernur negara bagian Wisconsin Scott Walker, juga bakal calon presiden dari Partai Republik mengatakan, putusan MA itu merupakan kesalahan besar, ia bahkan menyerukan amandemen terhadap konstitusi AS untuk membatalkan otoritas Mahkamah Agung untuk memutuskan kesetaraan pernikahan.
Bakal calon presiden dari Partai Republik lainnya, Senator dari Florida, Marco Rubio menanggapi dengan lebih lunak dan mengatakan, "Meskipun saya tidak setuju dengan keputusan ini, namun kita hidup di sebuah negara dan harus mematuhi hukum."
Reaksi juga datang dari beberapa gereja yang menentang pernikahan gay. Chad Pecknold, seorang profesor di Universitas Katolik Amerika mengatakan kepada VOA bahwa keputusan MA itu sangat sulit bagi Gereja Katolik, "karena (MA) memutuskan berdasarkan hukum Barat mengenai pandangan soal perkawinan -- yang oleh Gereja Katolik tidak dipandang sebagai sesuatu yang sah. Ini adalah tantangan bagi pandangan gereja tidak hanya dari sifat seseorang dan sifat perkawinan, tetapi juga berkaitan dengan hukum atau potensi hukum, tantangan bagi lembaga-lembaga gereja. Dan inilah mengapa gereja akan menjadi sangat hati-hati (mengenai isu ini)."
Pecknold mengatakan keputusan Mahkamah Agung itu akan memaksa gereja-gereja menghabiskan waktu dan dana guna membela diri dari berbagai tuntutan hukum yang menantang keyakinan inti mereka, bukannya sibuk untuk memberitakan Injil.