Tingginya jumlah praktik perkawinan anak di bawah 18 tahun di Indonesia menjadi masalah serius, karena sebagaimana disampaikan Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari kepada VOA hari Kamis (8/12), perkawinan anak memicu kekerasan terhadap perempuan, yang eskalasinya semakin lama semakin parah.
Perkawinan anak pada usia dini lanjutnya akan menyebabkan terjadinya kekerasan seksual, karena pada usia itu anak belum siap melakukan hubungan seksual. Alat reproduksi yang belum matang membuat anak-anak yang dilahirkan kelak berpotensi mengalami gangguan fisik dan mental, seperti cacat atau pertumbuhan otak yang tidak sempurna.
Selain kekerasan seksual, anak perempuan yang menikah muda juga kerap mengalami kekerasan fisik, seperti penganiayaan oleh suami atau bahkan mertua karena dinilai belum bisa memahami dan memenuhi tugas sebagai istri.
Koalisi Perempuan Indonesia memperkirakan praktik perkawinan anak kini mencapai angka 20 – 25 juta kasus, di mana dua per tiga dari perkawinan itu berakhir dengan perceraian dalam usia perkawinan kurang dari satu tahun. praktik perkawinan anak umumnya dilakukan terhadap anak perempuan berusia 13-15 tahun. Padahal UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mensyaratkan batasan umur bagi orang yang mau menikah, yaitu minimal 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
"Perkawinan anak itu akan menghentikan kesempatan anak-anak perempuan untuk memiliki orang-orang yang punya kualitas yang baik. Dan juga tidak bisa ditempati oleh anak-anak yang dilahirkan karena anak-anak yang dilahirkan tidak sempurna baik fisik maupun mental, pertumbuhan otak," ungkap Dian.
Lebih lanjut Dian Kartikasari menambahkan 10 daerah di mana tingkat perkawinan anak sangat tinggi adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat dan Kalimantan Tengah.
Dalam peringkat perkawinan anak tertinggi di dunia, Indonesia berada di urutan ke-37 dari 73 negara. Sementara di kawasan ASEAN, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Kamboja.
Selain faktor kemiskinan, hal lain yang mendorong orang tua mempercepat perkawinan adalah interpretasi agama dan budaya yang salah.
"Budaya, di mana masyarakat membangun stigma negatif pada orang-orang yang menikah lama. Ada di beberapa daerah sudah lewat 15 tahun, dia stigma sebagai perawan tua atau tidak laku," tambah Dian.
Koalisi Perempuan Indonesia menilai pemerintah belum berhasil meredam tingginya praktik perkawinan anak karena kementerian dan lembaga yang ada sering berjalan sendiri-sendiri dan tidak terkoordinasi. Untuk itu koalisi ini menyerukan kepada presiden selaku pemimpin tertinggi eksekutif untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-udang atau perppu sebagai payung hukum bersama bagi berbagai kementerian dan badan untuk mengatasi praktik perkawinan anak yang semakin tinggi ini.
Angota Dewan Perwakilan Rakyat Okky Asokawati mengatakan perlu adanya revisi terhadap undang-undang perkawinan tentang batas umur perkawinan.
"Undang-undang perkawinan menyebut 16 tahun untuk perempuan, 19 tahun untuk laki-laki, sebetulnya kalau dari segi psikologi baik dari segi kematangan fisik masih belum baik. Lebih baik perempuan 21 tahun dan laki-laki 25 tahun," papar Okky.
Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi pernah menolak permohonan judicial review atau peninjauan kembali Undang-undang Perkawinan, khususnya pasal tentang batasan umur perkawinan. Padahal menurut Koalisi Perempuan Indonesia, menaikkan batasan umur perkawinan adalah langkah awal yang signifikan untuk meredam praktik ini. [fw/wm]