Persetujuan Presiden Filipina untuk memperpanjang suatu pakta militer dengan AS meskipun ia tidak suka terhadap Washington menunjukkan hubungannya dengan China mulai terganggu setelah empat tahun ini, jelas para analis.
Menteri Luar Negeri Filipina mengumumkan pada 3 Juni lalu, bahwa Filipina akan memperpanjang perjanjian mengenai kunjungan pasukan dengan AS setidaknya hingga akhir 2020. Pemerintah menyatakan pada Februari lalu akan mengakhiri perjanjian yang telah berjalan 21 tahun ini, yang memungkinkan pasukan AS dengan bebas masuk Filipina untuk mengikuti latihan bersama. Washington menganggap negara di Asia Tenggara ini sebagai tempat strategis apabila terjadi konflik di Asia Timur.
Menteri Luar Negeri Teodoro Locsin mengatakan dalam konferensi pers pekan lalu bahwa “meningkatnya ketegangan adikuasa” di Asia mendorong negaranya untuk mempertahankan perjanjian itu.
China, yang memiliki kekuatan militer terbesar di Asia dan memiliki sengketa kedaulatan maritim dengan Filipina, berkembang sebagai ancaman pada semester pertama tahun ini, kata para pakar. Beijing membiarkan satu armada kapal nelayan berlayar di dekat pulau kecil di Laut China Selatan yang diduduki Filipina, mengirimkan kapal survei ke suatu daerah di laut yang sama yang diklaim Malaysia, dan mendorong Angkatan Laut AS untuk melakukan empat “operasi kebebasan berlayar.”
Jay Batongbacal, profesor dalam bidang maritim internasional di University of the Philippines mengatakan, semua itu berkontribusi pada persepsi bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengurangi penjagaan.
China mengklaim sekitar 90 persen wilayah Laut China Selatan, yang tumpang tindih dengan beberapa bagian dari zona ekonomi eksklusif Filipina. Pemerintah AS, bekas penjajah Filipina, menyatakan, Laut China Selatan harus tetap terbuka secara internasional.
Lebih dari 100 kapal China telah mengelilingi pulau-pulau kecil yang dikuasai Filipina tahun lalu. Pada tahun 2012, kapal-kapal Angkatan Laut dari kedua negara terlibat konflik di kawasan Scarborough Shoal yang kaya ikan.
Duterte mengejutkan para pemimpin dunia dan warganya pada tahun 2016 dengan mengesampingkan sengketa kedaulatan maritim untuk menjalin hubungan baru dengan China. China membalasnya dengan janji bantuan dan investasi miliaran dolar, termasuk 150 ribu perangkat tes COVID-19 dan 70 ribu masker N95 yang ditawarkan bulan lalu.
Presiden Filipina itu mengecam pengaruh AS di negaranya. Ia berang atas kritik AS di bawah pemerintahan presiden Barack Obama terhadap kampanye antinarkoba Filipina yang membawa korban jiwa dan dicabutnya visa AS pada Januari lalu terhadap mantan kepala kepolisian Filipina Dela Rosa. Dela Rosa, yang kini menjadi senator, berperan kunci dalam kampanye antinarkoba yang diwarnai dengan pembunuhan oleh aparat pemerintah di luar proses hukum. [uh/ab]