Lembaga Studi dan Advokasi Masyarkat mendesak Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan menterinya menghapus pasal penghinaan presiden dari revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) karena hal itu merupakan suatu kemunduran demokrasi.
Peneliti Elsam Wahyudi Djafar hari Rabu (5/8) mengatakan bagi pejabat publik seperti presiden yang merupakan kepala pemerintahan, kritik merupakan bentuk pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Revisi terhadap KUHP seharusnya lebih maju dengan menyelaraskan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia dan bukan malah mundur dengan mengekang kebebasan masyarakat sipil, ujarnya.
Wahyudi mengatakan bahwa apabila pasal penghinaan terhadap presiden tetap dimasukan, hal tesrebut juga merupakan pembangkangan terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2006 yang telah membatalkan pasal penghinaan presiden yang ada di KUHP.
Dalam putusannya, MK menilai pasal itu bisa menghambat upaya komunikasi, perolehan informasi dan berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi sikap.
"Itu kemungkinan besar potensinya adalah memberangus kritik atau suara lain terhadap pemerintah, terutama presiden. Kalau kita baca RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), salah satu agenda terbesar dalam pembaruan hukum pidana kan reformasi KUHP. Reformasi KUHP yang baru nantinya kita harapkan lebih baik dari sebelumnya bukan malah makin buruk dari sebelumnya," ujarnya.
Pemerintah telah mengusulkan revisi Undang-Undang KUHP kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rencananya Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum akan membahas revisi KUHP ini dengan pemerintah dalam waktu dekat.
Dalam rancangan undang-undang tersebut, pemerintah mengajukan 786 pasal. Pasal tentang penghinaan terhadap presiden menyatakan bahwa setiap orang yang menghina presiden di muka umum dipidana penjara paling lama lima tahun.
Selain itu, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman penghinaan tersebut sehingga terdengar oleh umum dapat dipidana dengan hukuman yang sama.
Anggota Komisi Hukum DPR Masinton Pasaribu mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia harus maju dan tidak boleh mundur, tetapi memang harus ditata. Pemerintah dan DPR harus memilah mana yang dinamakan mengkritik dan mana yang benar-benar menghina dan harus dibuat batasan yang jelas, ujarnya.
Dia mengatakan negara memang harus menjaga martabat seorang kepala negara tetapi jangan sampai revisi KUHP ini menyurutkan semangat untuk membangun demokrasi.
"Hukum itu tidak boleh terlalu represif terhadap pendapat-pendapat atau kritik-kritik yang berbeda terhadap siapapun baik itu terhadap pemerintahan atau siapapun," ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai wajar jika pemerintah berupaya menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden melalui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut Kalla presiden merupakan kepala negara sehingga harus dihormati.