Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita, Selasa larut malam (18/8), mengundurkan diri beberapa jam setelah ia ditangkap oleh tentara yang memberontak, menyusul kekacauan politik berbulan-bulan di negara di Afrika Barat itu.
Seraya mengenakan masker terkait dengan pandemi virus corona, Keita yang tampak lelah tampil di stasiun televisi pemerintah untuk mengumumkan bahwa ia mengundurkan diri guna menghindari pertumpahan darah.
Pemimpin tersingkir yang berusia 75 tahun itu mengatakan “jika unsur-unsur tertentu” militer ingin mengakhiri kepresidenannya dengan intervensi, ia tidak punya pilihan. Keita juga mengumumkan bahwa pemerintahnya dan Majelis Nasional akan dibubarkan.
Pidato pengunduran diri Keita mengakhiri hari penuh gejolak yang dimulai ketika tentara merebut senjata dari sebuah markas militer di Kati dan bergerak maju ke ibu kota, Bamako. Seorang wartawan di Mali mengatakan kepada VOA bahwa para tentara itu “mengamuk, menuju gudang senjata, mengambil senjata, mulai melepaskan tembakan ke udara, keluar dan menutup akses ke markas itu.”
Sejumlah demonstran antipemerintah berkumpul di alun-alun utama Bamako untuk menyemangati para tentara yang sedang menuju ke kediaman Keita untuk menangkapnya.
Para tentara menangkap Keita dan PM Boubou Cisse di kediaman Keita dan membawa mereka ke Kati, markas di mana kudeta tahun 2012 yang menggulingkan Presiden Amadou Toumani Toure bermula. Penggulingan Toure memicu kekerasan oleh pemberontak Islamis di Mali Tengah, meskipun pasukan Prancis masih ada di sana. Pasukan Prancis itu pada mulanya bertugas menyingkirkan pemberontak jihadis dari Mali Utara.
Tidak ada laporan mengenai korban dalam pemberontakan pada hari Selasa (18/8). Selama berbulan-bulan Mali dilanda protes yang dipimpin partai oposisi utama, Gerakan 5 Juni, terkait krisis ekonomi, korupsi dan kegagalan Keita menumpas pemberontakan kelompok Islamis selama delapan tahun ini. Kemarahan juga muncul terkait hasil 31 pemilihan legislatif April lalu yang masih disengketakan. [uh/ab]