Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada Selasa sore melantik mantan Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana TNI Agus Suhartono, sebagai Panglima TNI. Agus Suhartono menggantikan Jenderal TNI Djoko Santoso yang memasuki masa pensiun. Pada saat yang sama, Presiden juga melantik Laksamana Madya Soeparno, menjadi Kepala Staf Angkatan Laut yang baru. Pengucapan sumpah jabatan berlangsung di Istana Negara.
Kepada pers, Laksamana TNI Agus Suhartono mengatakan, ia akan mengutamakan reformasi dalam tubuh TNI; dengan mempertahankan netralitas serta penataan organisasi TNI.
“Kita akan menata kembali organisasi TNI serta mempertahankan netralitas TNI. Bagaimana kita mempertahankan netralitas TNI, kemudian membangun kekuatan pokok minimum yang akan kita bangun bertahap, secara bertahap,” kata Agus Suhartono.
Sementara untuk penanganan terorisme dan penjagaan batas-batas wilayah, Agus Suhartono menegaskan hal ini ikut menjadi prioritas utama TNI. Ia menambahkan, pasukan TNI akan selalu disiagakan untuk membantu kepolisian dalam memberantas terorisme.
“Kopassus sekarang juga latihan dengan SAS (pasukan khusus) Australia , TNI Angkatan Laut juga latihan. Tetapi pengerahan keterlibatan dalam penanggulangan terorisme ya kita tunggu dari Badan Penanggulangan Antiteror. Pasukan kita siap. Tugas kita kan menyiapkan (pasukan TNI) agar siap. Sekarang kan bagaimana menggunakannya. Saya kira polisi juga punya perhitungannya sendiri,” jelas Agus Hartono.
Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri baru-baru ini mengatakan, Komando Pasukan Khusus (KOPASSUS) kemungkinan akan ikut serta dalam penanganan terorisme, bersama-sama dengan Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Pengamat bidang keamanan dan hubungan internasional dari Universitas Indonesia , Andi Widjajanto, mengatakan pelibatan Kopassus harus melalui keputusan politik dari Presiden.
“Ajakan dari Kapolri itu harus ditindaklanjuti dengan keputusan politik oleh presiden, bisa berupa perintah lisan dari Presiden, bisa juga Peraturan Presiden tentang perbantuan. Jauh lebih ideal lagi peraturan Undang-Undang tentang Tugas Perbantuan (TNI kepada Polri),” kata Andi.
Ketua Komisi 1 DPR RI, Machfudz Siddiq, menilai pelibatan Kopassus diperlukan agar penumpasan terorisme di Indonesia bergerak secara terpadu.
“Kalau kita lihat salah satu yang menjadi celah radikalisasi dan terorisme, itu bahwa mereka (jaringan teroris) melihat TNI menjaga jarak dengan polisi, TNI itu tidak mempunyai peran langsung, sehingga dalam menjalankan aksi-aksinya mereka (teroris) pikir hanya perlu berhadapan dengan Polri,” ungkap Machfudz Siddiq.
Machfudz menambahkan, TNI dan Polri perlu membuka komunikasi yang luas dengan aparat keamanan negara tetangga. Alasannya, peta jaringan terorisme Asia Tenggara dan jalur perdagangan senjata ilegal sangat luas; mulai dari Pattani, Thailand, Mindanao di Filipina, hingga Solo, Jawa Barat, dan Aceh.