Presiden Taiwan Ma Ying-jeou akan mengadakan pertemuan tatap muka dengan pemimpin China Xi Jinping di Singapura hari Sabtu mendatang. Ini akan merupakan pertemuan pertama antara pemimpin Taiwan dan pemimpin China sejak Taiwan memisahkan diri dari China di tengah-tengah perang saudara pada tahun 1949.
Pertemuan ini juga akan berlangsung hanya beberapa minggu sebelum Taiwan mengadakan pemilihan umum serta pemilihan presiden.
China mengatakan pembicaraan itu akan merupakan “tonggak bersejarah besar” dalam pengembangan hubungan lintas-selat.
Menurut pernyataan resmi yang dibacakan di media pemerintah, China mengatakan bahwa dalam pembicaraan itu “kedua pemimpin lintas-selat akan bertukar pandangan mengenai berbagai upaya damai dan memperdalam hubungan antara Taiwan dan China.”
Sejak Presiden Ma memulai jabatannya pada tahun 2008, Taiwan dan China telah menandatangani 23 perjanjian. Hubungan perdagangan dan pariwisata telah diperdalam, tapi demikian pula keprihatinan masyarakat tentang ketergantungan Taiwan pada perekonomian China serta pengaruh politik dari Beijing.
China mengklaim pulau yang diperintah secara demokratis itu sebagai bagian dari wilayahnya sendiri dan menginginkan keduanya kembali bersatu. Namun, dukungan untuk unifikasi dengan China sangat rendah di Taiwan.
Para politisi oposisi Taiwan sudah menyatakan kekhawatiran tentang pembicaraan yang akan dilakukan secara tertutup itu dan para pengunjuk rasa telah mulai berdemonstrasi di ibukota Taipei.
Keamanan telah ditingkatkan di luar gedung Legislatif Yuan dan Kantor Presiden di mana sejumlah warga menyerukan pembatalan pertemuan itu. Sebagian lainnya menyatakan keprihatinan bahwa kedua pemimpin mungkin akan mencapai beberapa kesepakatan rahasia dalam pertemuan tertutup itu.
Juru bicara Presiden Ma mengatakan tidak ada perjanjian yang akan ditandatangani dalam pertemuan itu dan dia menekankan bahwa pembicaraan bertujuan untuk memperkokoh hubungan antara kedua pihak dan “mempertahankan status quo lintas- Selat Taiwan.”
Media pemerintah China mengatakan kedua pemimpin tidak akan saling menyapa satu sama lain sebagai presiden dalam pertemuan itu, tapi mereka akan menyapa satu sama lain dengan kata “Mister” atau “Tuan.” Kedua pemerintahan tidak secara resmi mengakui satu sama lain.
Setelah mengadakan pembicaraan singkat pada sore hari, kedua presiden akan mengadakan konferensi pers terpisah dan bersantap makan bersama.
Cheng Yun-peng, juru bicara Partai Demokratik Progresif atau DPP yang beroposisi mengatakan pertemuan itu bisa digunakan sebagai apa yang disebutnya sebagai rencana licik untuk pemilu. Dia juga menyatakan kekhawatiran bahwa Presiden Ma mungkin akan membuat perjanjian yang tidak sah dalam pertemuan tertutup dengan Presiden Xi itu.
Menurut jajak pendapat publik, DPP unggul besar atas Partai Nasionalis pimpinan Ma Ying-jeou dan yakin akan memenangkan tidak hanya pemilihan presiden, tetapi juga kontrol atas badan legislatif Taiwan untuk pertama kalinya dalam sejarah. Pemilu itu dijadwalkan pada tanggal 16 Januari, 2016. Seberapa besar dampak pertemuan itu terhadap pemilu sejauh ini belum diketahui.
Sementara itu, di Washington, juru bicara Gedung Putih John Earnest mengatakan kepada para wartawan bahwa “kepentingan mendasar Amerika Serikat adalah hubungan lintas-selat yang stabil dan damai.”
Partai Nasionalis, yakni partainya Presiden Ma, melarikan diri dari China daratan ke Taiwan setelah kalah dalam perang saudara melawan Partai Komunis yang dipimpin oleh Mao Zedong pada tahun 1949.
Di Taiwan, Partai Nasionalis memerintah pulau itu dengan tangan besi selama beberapa dekade, membungkam para pembangkang, seperti yang dilakukan oleh Partai Komunis di China daratan. Tetapi tidak seperti para penguasa Partai Komunis di China, Taiwan secara bertahap membuka diri, dan mengizinkan berdirinya partai-partai oposisi. Negara pulau itu mengadakan pemilu demokratis pertamanya pada tahun 1996. [uh]