Presiden Jokowi nampaknya tidak bergeming dengan ancaman Uni Eropa melarang produk kelapa sawit Indonesia masuk ke wilayah mereka. Bukannya berusaha memenuhi catatan yang diberikan Uni Eropa terkait sawit, Jokowi lebih memilih bersikap reaktif. Selain menyampaikan banyak protes dan ancaman mengurangi pembelian produk dari Uni Eropa, pemerintah memilih menggenjot konsumsi dalam negeri.
Jokowi berkali-kali mengeluarkan pernyataan keras terkait rencana pelarangan masuknya kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa. Di laman media sosialnya, pada 11 Januari 2020 lalu Jokowi kembali mengungkit persoalan ini.
“Uni Eropa memunculkan isu bahwa minyak kelapa sawit tidak ramah lingkungan. Ini soal perang bisnis antarnegara saja, karena CPO (Crude Palm Oil) bisa lebih murah dari minyak bunga matahari mereka,” kata Jokowi.
Selain itu, Jokowi menawarkan solusi domestik serta penggunaan komoditas lain untuk senjata tawar menawar.
“Jalan keluarnya ada: CPO kita pakai lebih banyak untuk domestik, jadi campuran biodiesel melalui program B20, dan kini B30. Komoditas lain seperti nikel, bauksit, timah, batu bara, dan kopra menyusul. Kita tidak akan ekspor mentah, tapi dalam bentuk jadi atau setengah jadi,” tulisnya.
Program B30 adalah kewajiban mencampur 30 persen biodiesel dan 70 persen bahan bakar solar untuk dijual di pasaran. Pemerintah akan terus menaikkan kewajiban campuran biodiesel itu, secara bertahap melalui program B40, B50 dan bahkan, seperti kata Jokowi, B100.
Pilihan Sikap Dipertanyakan
Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto justru mempertanyakan pilihan itu. Kepada VOA, Darto mengatakan, Indonesia akan kesulitan menerapkan strategi Jokowi itu, dengan luasan lahan dan produksi CPO-nya.“Ini sebenarnya, Presiden belum paham betul soal posisi sawit Indonesia. Bahwa dari 16,3 juta hektar lahan sawit itu, kalau misalnya dikaitkan dengan produksi ton CPO-nya, itu sudah sampai kurang lebih 40 juta ton CPO setahun. Dan juga, mayoritas CPO kita itu orientasinya untuk ekspor, 80 persen. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah 80 persen yang dieskpor itu bisa dialihkan ke pasar domestik kita, lewat program B30 dan B50 segala macam itu,” kata Manseutus Darto.
Darto mengatakan, pilihan strategi Jokowi menghadapi tekanan Uni Eropa memang terlihat nasionalistis. Sikap keras dan kesan seolah-olah siap melancarkan perang dagang itu, dapat dimaklumi. Namun sekali lagi, Darto meminta Jokowi realistis melihat kenyataan. Selain soal program B30 dan sejenisnya, belum terdengar terobosan lain untuk memanfaatkan produk CPO, jika memang tidak diekspor.
“Program B30 itu masih belum cukup untuk menampung produksi kita yang melimpah ruah itu. Mau dibikin apa CPO-nya? Atau misalnya di ekspor ke wilayah lain? Jepang juga sudah menerapkan sertifikasi. Cuma China yang bisa dituju,” tambah Darto.
Menjual CPO ke negara-negara yang tidak menetapkan syarat terkait tata kelola lingkungan bisa menjadi jalan keluar sementara. Namun, dalam 10-15 tahun ke depan langkah itu mungkin tak bisa lagi dilakukan. Dengan dibayangi isu perubahan iklim, dekade ke depan CPO yang bisa diperdagangkan akan dibebani berbagai syarat. Untuk bisa memenuhi itu, Indonesia butuh strategi jangka panjang.
Kondisi akan lebih berat karena sejak sekitar tiga tahun yang lalu, Indonesia melakukan peremajaan sawit. Dengan potensi yang lebih tinggi di masa depan, Indonesia justru akan menghadapi pasar lebih sempit, jika tidak mematuhi standar tata kelola lingkungan yang digaungkan dunia. Sementara kawasan lain di dunia terus bergerak menjadi produsen CPO dengan praktik perkebunan sawit yang lebih baik.
Jokowi, diakui Darto sudah menelurkan sejumlah kebijakan yang mendukung perbaikan tata kelola sawit. Misalnya Instruksi Presiden nomor 8 tahun 2018, yang dikenal sebagai Inpres moratorium sawit. Ada juga Inpres nomor 6 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. Namun kementerian yang mestinya menjadi ujung tombak inisiatif ini, tidak bergerak sama sekali.
Jokowi juga membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Badan ini menetapkan pungutan bagi ekspor CPO. Menurut Darto, hingga saat ini sudah terkumpul dana hingga Rp 40 triliun. Namun, program-program mendukung sawit berkelanjutan justru tidak banyak didukung dengan dana ini.
“Jadi sekarang ini, kita bisa bilang regulasi ada, dana juga ada, aksi saja yang belum ada,” tambah Darto sambil tertawa.
Tuntutan Perbaikan Banyak Pihak
Dihubungi terpisah, pakar Lingkungan dari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau, Elviriadi mengaku bisa memaklumi sikap Uni Eropa.
“Sikap Eropa itu sangat wajar, karena mereka ingin kepastian dari aspek kerusakan lingkungan atau deforestasi, penggunaan tenaga buruh anak-anak, hilangnya keanekaragaman hayati dan konflik agraria. Jadi, mereka tidak mau ada masalah di belakang hari, dengan ekspansi sawit oleh Indonesia,” ujarnya memberi alasan.
Elviriadi memberi contoh apa yang terjadi di sekitar tempat tinggalnya. Menurut data temuan DPRD Provinsi Riau, setidaknya ada 1,4 juta hektar kebun sawit ilegal. Status ilegal itu disematkan karena tidak ada proses pelepasan kawasan sebelumnya. Hal ini sudah membuktikan bahwa penataan hutan produksi, konservasi, dan hutan masyarakat, saling tabrak.
“Seharusnya ikuti aturan. Ini bahkan menabrak tanah milik masyarakat seperti fasilitas umum, kuburan, lapangan voli, dan yang lain banyak terambil. Kalau regulasinya dipatuhi, saya kira tidak seburuk ini tata kelola dan masalah yang timbul,” tambah Elviriadi.
Dampaknya sudah banyak dirasakan masyarakat, kata Elviriadi. Sisa pupuk masuk ke aliran sungai dan menyebabkan sedimentasi. Sementara untuk menyiapkan lahan, sungai-sungai kecil biasanya diratakan dengan tanah. Masyarakat di sekitar perkebunan sawit kehilangan akses mencari ikan, sekaligus kekeringan karena sawit menyerap simpanan air. Pengelolaan limbah juga tidak berjalan, ujar Elviriadi.
Momentum saat ini, tambah Elviriadi, harus dijadikan bahan introspeksi terkait tata kelola sawit. Tidak hanya Uni Eropa, di dalam negeri suara-suara kritis yang meminta perbaikan pun tidak kalah banyak. Jika dimulai gerakan sawit yang lebih berkelanjutan, manfaatnya akan dinikmati seluruh pihak.
Sayangnya, tambah Elviriadi, pemerintah sepertinya memilih untuk bersikap keras.
“Kita memang bangsa yang selalunya jaim (= jaga image). Malu mengakui bahwa kita punya sisi lemah yang selama ini sudah mapan. Jadi, mau menggugat kemapanan tata kelola yang buruk itu saja, pemerintah kita agak gamang kelihatannya,” pungkas Elviriadi. [ns/lt]