Akhir tahun ini atau awal tahun depan, jika kebetulan mengunjungi jaringan toko eceran pakaian dan aksesoris Anthropologie & Co di Amerika dan menemukan produk bermerek Runa Beauty, Anda sebetulnya sedang melihat produk buatan Indonesia.
Memang sih, yang Anda temukan mungkin sekadar beauty sponge. Tapi, ini menunjukkan bahwa sebuah produk dalam negeri, sekalipun belum lama diperkenalkan, bisa dilirik pasar internasional, jika memang luar biasa unik.
Sponge buatan Runa Beuty tergolong sangat unik karena memanfaatkan sabut kelapa, limbah yang selama ini lebih sering disia-siakan. Diberi nama Mare Coco Sponge, produk itu terbuat dari 70 persen sabut kelapa dan 30 persen busa poliuretan nonsintetis (biopolyurethane) yang berasal dari minyak jarak (kastor). Karena alasan itulah, menurut CEO Runa Beauty, Sonia Garcia, Anthropologie mengajaknya bergabung.
“Anthropologie, yang satu grup dengan Urban Outfitter, secara spesifik tertarik dengan beauty sponge-nya Runa. Karena itulah saya partner-up dengan Anthropologie. Misinya Anthropoligie juga sesuai dengan misinya Runa, jadi akhir tahun ini kita akan launching produknya Runa di Amerika, tepatnya di Anthropologie secara ekslusif.”
Anthropologie sendiri punya alasan kuat menggandeng perusahaan-perusahaan seperti Runa.
Media-media di AS memberitakan, perusahaan Amerika dengan lebih dari 200 toko di berbagai penjuru dunia itu tersebut baru-baru ini mendapat peringkat lingkungan “Tidak Cukup Baik” dari lembaga rating fesyen Good On You.
Pertimbangannya, merek ini dianggap tidak meminimalkan limbah tekstil, menghindari bahan kimia berbahaya dalam rantai pasokannya, atau menerapkan inisiatif pengurangan air. Kurangnya kepedulian terhadap lingkungan ini mengecewakan banyak pihak mengingat merek ini jelas memiliki sumber daya untuk berbuat lebih baik.
Singkat kata, merek ini perlu memperbaiki citranya dengan menggalang kekuatan dengan para pemasok ramah lingkungan.
Sonia, 28, mengatakan, ia menemukan ide memanfaatkan sabut kelapa sewaktu berkunjung ke salah satu perusahaan pemasok minyak sawit di Singkawang, Kalimatan Barat. Dalam perjalanan ke sana, ia melalui sejumlah perkebunan kelapa dan menemukan banyak sabut kelapa terbuang sia-sia. Ia pun kemudian berpikir untuk bisa memanfaatkannya.
“Jadi ide ini datang saat saya berkunjung ke Singkawang. Ada banyak perkebunan kelapa dengan limbah sabutnya. Dan saya pikir bisa banget dimanfaatkan. Akhirnya lahirlah ide untuk membuat beauty sponge dari sabut kelapa.”
Menurut Sonia, ada sekitar 50 miliar pohon kelapa yang ditanam di Indonesia, dan sekitar 85 persen dari sabutnya sering dibuang seperti sampah atau dibakar, yang selanjutnya berkontribusi terhadap polusi global.
Peran Runa Beauty sejauh ini memang masih kecil. Perusahaan ini hanya memanfaatkan 400 kilogram sabut kelapa untuk produksi sponge-nya. Namun bukan tidak mungkin, kontribusi Runa akan lebih besar bila skala produksi meningkat.
Pavettia Skincare, sebuah merek independen lokal, juga berusaha memanfaatkan limbah industri. Merek ini memanfaatkan biji carica (pepaya gunung) sebagai sumber minyak untuk berbagai produk kecantikan.
Erika Simangunsong, CEO Pavettia, mengatakan, biji carica selama ini umumnya terbuang sia-sia setelah buahnya dimanfaatkan untuk membuat oleh-oleh khas daerah Dieng di Jawa Tengah. Industri perikanan telah mencoba memanfaatkan limbah ini sebagai pakan, namun dalam jumlah yang relatif rendah.
“Limbah ini kami olah menjadi biji kering, kemudian menjadi minyak dan kemudian menjadi produk akhir seperti cleansing oil dan lip color. Dalam beberapa tahun ke depan, kami akan memanfaatkannya untuk produk skin care lainnnya seperti body lotion dan pelembab wajah.”
Menurut Erika, Pavettia yang telah meraih sejumlah penghargaan lingkungan --seperti perusahaan rintisan terbaik, Bangga Buatan Indonesia dan UKM Award -- memang berkomitmen besar terhadap lingkungan. Pemanfaatan produk samping industri makanan merupakan bentuk intervensi perusahaan itu untuk membuat perubahan positif pada tingkat rantai pasokan.
Komitmen Pavettia terhadap lingkungan tidak terbatas pada pemanfaatan limbah biji, tapi juga pemberdayaan masyarakat setempat. Perusahaan itu tidak membeli limbah biji dari perusahaan produsen makanan dan minuman carica melainkan dari komunitas perempuan setempat yang bersedia mengolah limbah itu.
“Rekan-rekan bisnis kami yang di Dieng, Wonosobo, tidak mengambil profit dari limbah biji carica. Mereka justru memberdayakan ibu-ibu yang tinggal di sekitar pabrik untuk mengolah limbah itu. Jadi Pavettia tidak membayar ke produsen makanan dan minuman itu, melainkan ke para ibu pengolah limbah," kata Erika.
Bagi Pavettia, komitmen keberlanjutan lainnya termasuk memastikan bahwa bahan-bahan yang dimanfaatkannya berasal dari pertaniannya yang bebas dari pupuk kimia, pestisida, atau bahan berbahaya lain yang bisa merusak lingkungan.
Selain memanfaatkan limbah biji carica di Dieng, Pavettia juga memiliki lahan pertanian sendiri di Subang, Jawa Barat, yang menghasilkan bahan-bahan yang diperlukan untuk produk kecantikan lainnya. Sejak diluncurkan pada 2016, bahan-bahan produk-produknya kecantikannya sangat mengandalkan apa yang dihasilkan lahan pertanian itu.
Selain Pavettia dan Runa Beuty, merek produk kecantikan independen lokal lain yang berusaha memberikan kontribusi positif adalah Evening, Merek ini mendukung keberlanjutan lingkungan dengan memproduksi bantalan kapas yang dapat digunakan kembali yang diolah dari limbah kain, dan cotton bud (pembersih kuping) yang dapat digunakan kembali yang terbuat dari silikon. Evening merupakan salah satu merek pertama yang menghasilkan produk kecantikan yang dapat digunakan kembali di Indonesia.
Runa Beauty juga memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan dalam rantai produksinya. Sejak diluncurkan pada tahun 2019, merek ini memperoleh bahan-bahan produknya dari produsen-produsen kecil yang beroperasi secara independen. Sonia mengatakan itu adalah bagian dari misi Runa untuk terus membudidayakan tanaman dan mineral asli Indonesia dengan cara yang paling sehat.
Usaha ini tidak mudah, menurut Sonia, perusahaannya memantau para pemasok secara ketat untuk mengetahui secara pasti asal-usul setiap tanaman dan mineral yang disuplai untuk perusahaannya. Pihaknya harus memastikan bahwa setiap bahan mentah dibudidayakan secara berkelanjutan dan pihak-pihak yang terlibat mendapatkan kompensasi yang adil.
Terlepas dari tahap produksinya yang kompleks, menawarkan produk kecantikan yang ramah lingkungan tidaklah mudah. Namun, baik Sonia dan Erika sama-sama sepakat, pengetahuan yang berkembang tentang beban lingkungan telah mengubah pola pembelian konsumen ke arah yang lebih etis.
Kreator konten digital produk kecantikan ramah lingkungan, Ankayama Lowing, 35, mengamati perkembangan ini. Ia mengatakan, dulu pasar Indonesia lebih menghargai produk-produk kecantikan impor ketimbang produk-produk lokal. Konsumen Indonesia bahkan tidak menyukai – atau kurang mempercayai – produk-produk ramah lingkungan. Namun, kini situasinya berubah.
Ankayama mengatakan, konsumen Indonesia kini mulai memperhitungkan beban lingkungan yang diciptakan sebuah merek sebelum memutuskan membeli produk-produknya.
“Konsumen kita itu kritis, karena di Indonesia itu ada banyak masalah lingkungan. Dan saya rasa brand-brand lokal yang mengusung konsep ramah lingkungan tidak akan bisa berkembang, kalau tidak ada market-nya, kalau tidak ada demand-nya. Jadi di Indonesia itu lebih real. Kita lebih mengerti mengapa kita lebih butuh produk-produk ramah lingkungan," katanya.
Sebagai aktivis lingkungan, Ankayama sangat mendukung apa yang dilakukan Runa, Pavettia, Evening dan perusahaan-perusahaan lokal sejenis lainnya.
“Buat saya sendiri ini tuh baru. Ada company lokal yang mau mengangkat sesuatu yang tidak populer. Mereka memanfaatkan limbah. Mereka bisa membuatnya menjadi benda yang bermanfaat, dan membuat beauty enthusiasts merasakan manfaatnya. It works. Meskipun dari limbah, bisa kok dipakai," ujar Ankayama.
Ankayama memanfaatkan kekuatan media sosial untuk mengangkat isu lingkungan terkait produk-produk kecantikan, dan mendorong pembicaraan yang serius mengenai pentingnya lingkungan berkelanjutan. Ia menyadari bahwa gairah yang semakin besar di kalangan konsumen untuk mencoba berbagai produk kecantikan telah meningkatkan limbah lingkungan.
Lewat media sosial, desainer grafis ini, contohnya, mengajak para pengikutnya memanfaatkan botol-botol perawatan kulit sebagi alat peraga foto, tempat lipstik, atau wadah produk kecantikan. Ia juga memperkenalkan jurnal yang berisi tip-tip kecantikan yang ramah lingkungan.
Memanfaatkan kembali selalu menjadi mantranya untuk meminimalkan pemborosan.
“Ibu kita dan generasi sebelum kita telah memberi contoh kepada kita. Ibu saya selalu menggunakan kembali kemasan yang tidak terpakai, seperti menyimpan koin di toples selai kacang atau sayuran di dalam kotak es krim. Tapi mengapa untuk generasi kita, ide untuk menggunakan kembali tampaknya tidak relevan?" jelas Ankayama.
Ankayama juga mengajak para pengikutnya untuk melakukan riset terlebih dahulu sebelum membeli produk. Ia mengingatkan mereka untuk mengenali bahan-bahan yang membahayakan lingkungan yang terkandung dalam sebuah produk, dan mencari tahu apakah merek itu memiliki prakarsa ramah lingkungan.
Ankayama menegaskan, keberlanjutan lingkungan terkait produk kecantikan merupakan tanggung jawab produsen dan konsumen. Sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan, ia menganjurkan konsumen untuk mengevaluasi secara bijak pola konsumsinya dan dampak lingkungan yang bisa ditimbulkan dari pola konsumsi itu. [ab/uh]