Jumlah populasi ikan sidat (Anguilla spp.) yang sempat menjamur di Danau Poso pada era tahun 90-an kini turun drastis.
Hal tersebut dibuktikan dengan produksi tangkapan sidat pada 2010 yang jumlahnya mencapai 20 ton per tahun, turun jauh dari hasil produksi di tahun 1990 yang dapat mencapai hingga 40 ton per tahun.
Doktor Triyanto, Peneliti dari Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan dibutuhkan upaya penebaran kembali (restocking) untuk menjaga produktivitas perikanan sidat di Danau Poso.
“Nah sekarang berdasarkan penangkapan, hasil pendataan dinas perikanan, itu kira-kira antara 6 hingga 12 ton per tahun,” kata Triyanto ditemui di sela-sela kegiatan Sosialisasi Panduan Teknis Penebaran Kembali Sidat di Danau Poso, pada Kamis (21/4) pekan lalu.
Berdasarkan kajian Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air, untuk mempertahankan produksi perikanan sidat sebesar 20 ton per tahun maka diperlukan upaya penambahan stok ikan sebesar 100 ribu ekor setiap tahunnya di Danau Poso.
Dalam empat bulan terakhir, Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air, melakukan pengembangan budi daya sidat di Balai Benih Ikan di desa Pandiri, Kecamatan Lage sebanyak tiga ribu ekor. Benih ikan sidat diperoleh dari nelayan di muara sungai Poso.
Pemerintah melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor 118 tahun 2021 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Sidat memuat rencana aksi melakukan penebaran kembali ikan sidat untuk mempertahankan populasi ikan sidat di alam pada tahun 2022-2026. Kegiatan itu akan dilakukan di berbagai lokasi habitat sidat yang dinilai telah mengalami penurunan produksi.
“Adapun target lokasi dan target jumlah, ini akan didiskusikan dengan para ahlinya, melalui serangkaian rapat dan survei pendahuluan,” kata Sub Koordinator Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Perairan Darat, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dony Armanto.
Ancaman Kelestarian Sidat di Danau Poso
Peneliti Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Profesor Krismono menjelaskan meskipun sidat merupakan komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis penting, namun permintaan terhadap sidat baik benih (glass eel) maupun dewasanya masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam.
“Kalau di alam ditangkap terus itu akan habis sehingga perlu adanya penebaran, ini yang dilakukan sehingga sumber daya ikan kita itu bisa terus berkelanjutan,” jelas Krismono.
Ancaman kelestarian sidat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti penangkapan yang intensif mulai dari glass eel hingga dewasa, penurunan luasan habitat dan alih fungsi lahan, serta rintangan pada alur ruaya (migrasi) oleh bendungan atau dam.
Di Sungai Poso kini telah berdiri dua bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang berpotensi dapat mengganggu ruaya sidat dari Danau Poso menuju laut teluk Tomini untuk bertelur. Begitupun saat anak ikan sidat menuju kembali ke Danau Poso.
“Perjalanan itu pada saat tidak ada bendungan itu bisa lancar. Nah sekarang adanya bendungan kemungkinan menghambat dari perjalanan itu. Kekhawatiran tadi itu logis karena mengkhawatirkan bahwa perjalan sidat dari pesisir sampai ke danau ada gangguan,” kata Krismono.
Dony Armanto, Sub Koordinator Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Perairan Darat, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan bendungan PLTA Poso sudah menyediakan fishway (jalan ikan) untuk migrasi sidat, tetapi fishway itu belum diuji keefektifannya.
“Memang ada beberapa lalu lintas sidat yang terekam yang melewati fishway, meskipun belum bisa dipastikan secara pasti atau seratus persen bahwa fishway itu efektif tapi paling tidak ada usaha seoptimal mungkin yang dilakukan oleh manusia untuk membantu sidat dalam melakukan migrasi secara alami,” kata Dony Armanto
Pendapatan Nelayan Menurun
Nelayan di sekitar Danau Poso, Sulawesi Tengah mengeluhkan semakin berkurangnya tangkapan ikan sidat yang mempengaruhi penghasilan mereka. Ferdilius Toumbo, 36, warga kelurahan Pamona, Kecamatan Pamona Puselemba kepada VOA menceritakan di tahun 2020 dia masih bisa mendapatkan penghasilan rata-rata hingga lima juta rupiah per bulan, namun kini penghasilan tertinggi dari menangkap sidat sebesar dua juta rupiah, itupun tidak setiap bulan.
“Kalau dua tahun lalu cukup sering, tapi untuk tahun ini baik saya monyilo, saya memanah ikan, sidat baru saya dapat itu sekitar 15 ekor. Paling kecil –berat- 5 kilogram, paling besar 9 kilogram lebih,” jelas Ferdilius.
Monyilo merupakan tradisi lokal untuk menangkap sidat di malam hari menggunakan perahu dengan penerangan lampu petromaks.
Saat ini rata-rata setiap satu kilogram berat ikan sidat dihargai senilai delapan puluh ribu rupiah di pasar lokal setempat. [yl/rs]