Dalam sidang dengar pendapat di DPR hari Rabu (8/6), Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Terorisme DPR mengundang tiga pakar untuk memberi masukan dalam menyusun beleid antiteror itu.
Ketiganya adalah pakar terorisme Asia Tenggara Ahmad Baidowi, Brigadir Jenderal Polisi Purnawirawan Anton Tabah yang ikut membidani kelahiran Detasemen Khusus Anti-Teror 88, dan pakar resolusi konflik Samsu Rizal Panggabean.
Ahmad Baidowi menyampaikan hasil penelitiannya tentang motivasi seseorang melakukan aksi teror. Riset antara tahun 2010 – 2011 yang dilakukan dengan mewawancarai 100 teroris yang masih menjalani vonis di penjara dan yang sudah bebas itu menunjukkan bahwa 45% pelaku aksi teror bermotif ideologi.
Namun, menurut penelitian Ketua Yayasan Sukma itu pelaku tidak identik dengan warga muslim saja. Bahkan sebagian besar pelaku teror adalah lulusan sekolah umum, bukan pesantren.
"Yang disebut terorisme dalam konteks UU Terorisme itu adalah hampir 12,7 persen adalah Kristen, bukan muslim. Yang muslim sisanya. Pada data selanjutnya, yang menarik sekali adalah pesantren itu cuma 5,5 persen. Yang banyak SMA 48,2 persen. Lulusan perguruan tinggi umum 18,2 persen, SMP 10,9 SMK, 6,4. Saya ingin membuktikan nggak benar terorisme itu kaitannya harus dengan pesantren,” papar Baidowi.
Penelitian itu ditindaklanjuti dengan penelitian lain tentang akar terorisme di kalangan anak-anak SMA, yang hasilnya sangat mengejutkan. Dua puluh lima persen pelajar di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menyatakan Pancasila sudah tidak layak lagi menjadi dasar negara.
Baidowi khawatir para pelajar yang sudah tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara itu akan mudah terjerumus menjadi pelaku teror.
"Penindakan itu penting tapi menurut saya porsinya harus lebih kecil dari pencegahan. Mencegah itu jauh lebih penting dari pada penindakan. Penindakan kadang bias karena sampai hari ini definisi terorisme itu tidak diakui oleh seluruh dunia. Artinya, masing-masing negara punya definisi terorisme sendiri-sendiri," tambah Baidowi.
Sementara, purnawirawan Jenderal Polisi Anton Tabah mengakui program deradikalisasi selama ini gagal total. RUU Terorisme yang sedang dirancang juga lebih berpihak pada aparat, ketimbang pelaku atau korban.
Meskipun demikian, Samsu Rizal mengakui bahwa tahun 2000 - 2013 jumlah serangan teror di Indonesia menurun dibandingkan dua negara di Asia Tenggara, yakni Thailand dan Filipina.
"Indonesia sebenarnya berhasil menyelesaikan beberapa hal bisa menarik atau mendorong aksi teror, apakah itu persoalan di Poso, Ambon, dan Aceh. Sehingga kita banyak sekali meredam potensi atau pendorong aksi teror," ujar Samsu Rizal.
Samsu Rizal mengusulkan supaya RUU Terorisme nantinya dapat dengan sungguh-sungguh merancang program deradikalisasi yang melibatkan Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan Nasional, Polri, Majelis Ulama Indonesia dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme BNPT. [fw/em]