Direktur Eksekutif, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Eni Mulia, mengatakan program Jurnalisme Aman telah dimulai sejak 2021 dan akan berlangsung hingga 2025 untuk mewujudkan apa yang disebutnya sebagai ekosistem yang aman dan kondusif bagi jurnalis.
Program Jurnalisme Aman, menurut Eni, diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah keselamatan jurnalis di Indonesia yang di antaranya terjadi karena ketiadaan standarisasi panduan dalam merespons kasus-kasus keamanan dan ancaman terhadap jurnalis.
“Ini terutama juga terjadi di tingkat lokal. Kita tahu di banyak jurnalis di tingkat lokal yang mengalami kekerasan, dan belum lagi kalau kita bicara tentang jurnalis warga, pers mahasiswa, jurnalis media komunitas dan sebagainya,” kata Eni Mulia dalam webinar bertema Kebebasan Berekspresi, Perlindungan dan Keamanan Jurnalis di Indonesia, Senin (11/4) melalui kanal YouTube Yayasan Tifa.
Program Jurnalisme Aman itu, kata Eni, menargetkan dua capaian, yaitu penanganan pengaduan kasus keselamatan jurnalis dengan panduan yang jelas, dipahami dan ditegakkan. Hal ini diharapkan akan melibatkan sinergitas sejumlah lembaga, yaitu Dewan Pers, Kemenkumham, Komnas HAM dan Aparat Penegak Hukum.
“Outcome berikutnya keselamatan jurnalis harus dipahami dan disadari bersama sebagai prioritas karena itu yang akan kami lakukan adalah meningkatkan kapasitas jurnalis termasuk didalamnya jurnalis warga, persma (pers mahasiswa -red), jurnalis media komunitas dan lain sebagainya dalam menghadapi tantangan dan ancaman fisik, digital dan psikososial,” jelas Eni Mulia dalam kegiatan yang sekaligus menandai peluncuran program itu.
Jurnalis Wajib Patuhi Kode Etik
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, M. Agung Dharmajaya, mengatakan dalam menjalankan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Namun perlindungan hukum wartawan hanya diberikan bagi mereka yang menaati kode etik jurnalistik.
Agung mengungkapkan dari sejumlah kasus yang ditangani Dewan Pers terdapat temuan kasus-kasus hukum dan kekerasan terjadi akibat perilaku oknum wartawan yang menyalahgunakan profesi untuk keuntungan pribadi.
“Misalnya oknum wartawan itu meminta sesuatu dan lain-lain, ketika itu tidak terpenuhi, kemudian dia menulis berita kemudian muncullah sebab akibat tadi,” kata M Agung Dharmajaya dalam acara itu.
Dewan Pers, menurut Agung, juga mendorong dilakukannya pembekalan mengenai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang PERS kepada aparat penegak hukum sejak menjalani pendidikan bintara, tamtama atau perwira dengan melibatkan Dewan Pers ataupun organisasi wartawan.
“Supaya mereka tahu apa yang dilakukan oleh teman-teman Pers ya demikian adanya, jadi jangan menggunakan pendekatan Undang-Undang KUHAP atau Undang-Undang ITE,” papar Agung.
Undang-Undang ITE
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menyatakan dalam lima tahun terakhir sebanyak 24 jurnalis di Indonesia terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU yang sebelumnya didesain untuk mengatur informasi dan dokumen elektronik, akhirnya menjerat siapa saja tak terkecuali jurnalis. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat delapan jurnalis yang dijerat UU ITE sepanjang 2020-2021. Tiga di antaranya telah divonis bersalah dengan hukuman antara 3 bulan hingga 2 tahun penjara atas tuduhan defamasi atau pencemaran nama baik.
“Untuk jurnalis kita sudah punya Undang-Undang PERS tapi ketika melihat 24 kasus ini, Undang-Undang PERS itu seolah diabaikan dalam penanganan kasus kriminalisasi terhadap jurnalis,” kata Sekretaris Komite Keselamatan Jurnalis, Nenden S Arum dalam webinar itu.
Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan pada 5 April 2019 bertujuan mengadvokasi kasus kekerasan terhadap jurnalis. Komite itu beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil. Sepanjang tahun 2019-2021, KKJ telah mengadvokasi 33 kasus kekerasan terhadap jurnalis ataupun media.
Nenden S Arum menambahkan sejumlah kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang didampingi penanganannya oleh Komite Keselamatan Jurnalis, justru baru diketahui ketika proses hukum sudah berjalan di kepolisian, hal ini menurutnya karena kesulitan jurnalis mengakses bantuan hukum.
“Angka 33 kasus yang diadvokasi oleh KKJ itu kan masih angka kecil ya, kebetulan saja nih orangnya punya akses terhadap KKJ atau kebetulan KKJ bisa memonitoring kasus tersebut,” kata Nenden. [yl/ah]