JAKARTA —
Saat mengikuti program Indonesia Mengajar dan menjadi pendidik di Pulau Bawean, sebuah pulau terpencil antara Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan, Tidar Rachmadi melihat rasa keingintahuan yang besar dari para muridnya mengenai orang-orang keturunan China atau Korea.
“Rasa ingin tahu itu timbul karena melihat film-film China dan Korea di televisi, yang membuat mereka bertanya, ‘Pak, kok mereka tidak seperti kita ya? Mereka berkulit putih dan matanya sipit’,” ujar Tidar pada VOA akhir pekan lalu, mengenang pengalaman mengajar selama setahun pada 2011-2012 yang diperuntukkan untuk para anak muda itu.
Ingin membuat kejutan untuk para murid, akhirnya Tidar menghubungi dua rekannya yang merupakan keturunan China untuk datang ke tempat ia mengajar. Namun betapa terkejutnya Tidar karena ketika dua rekannya tiba, justru para murid tidak ingin berkenalan karena kedua rekannya itu bukan beragama Islam.
Sejak itulah Tidar menambah pelajaran, di luar kurikulum resmi, kepada para murid-muridnya tentang toleransi. Menurutnya, lama kelamaan sikap para murid terhadap dua sahabatnya tersebut mulai cair bahkan akrab.
Pengalaman serupa dialami oleh Ayu Kartika Dewi, rekan Tidar yang mengajari di sebuah desa di Maluku pada 2010-2011, yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Daerah tempat Ayu mengajar pernah terjadi konflik agama. Pada masa awal mengajar, setiap hari Ayu diingatkan oleh penduduk setempat untuk jangan pernah menginjak daerah berpenduduk non-Muslim karena bisa dibakar hidup-hidup oleh mereka.
“Peringatan ini justru membuat saya melakukan pendekatan ekstra terhadap penduduk setempat, terutama para muridnya, untuk jangan merasa takut secara berlebihan dan segala masalah bisa dibicarakan serta diselesaikan secara baik-baik,” ujar Ayu.
Pengalaman-pengalaman tersebut mendorong Ayu, Tidar dan beberapa anak muda lain mendirikan Program SabangMerauke pada 2012. Di bawah bendera Yayasan Seribu Anak Bangsa (YSAB), program ini melakukan pertukaran pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) di seluruh wilayah tanah air. Anak-anak tersebut datang dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang suku, agama serta kondisi ekonomi yang berbeda-beda.
Menurut Tidar, dari program tersebut diharapkan tumbuh rasa toleransi, semangat ke- Indonesiaan serta keinginan meraih pendidikan setinggi-tingginya bagi anak-anak.
Setelah melalui serangkaian proses seleksi di seluruh wilayah di Indonesia, program Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali atau SabangMerauke 2013 telah memilih 10 anak dari berbagai daerah. Sejak 29 Juni 2013 hingga 14 Juli 2013, anak-anak tersebut tinggal di Jakarta dan menjalankan serangkaian kegiatan.
“Ini program pertama memang, ada 10 anak dari sembilan provinsi, lima laki-laki, lima perempuan. Satu dari Aceh (beragama) Islam, dari Riau Buddha, Pasuruan Hindu, Bali Hindu, Kalimantan Barat Islam, Sabah Malaysia anak TKI (Tenaga Kerja Indonesia) Katolik, dari Majene Islam, dari Maluku dua Islam, Papua Katolik, satu lagi dari Bali Hindu,” ujar Tidar.
Selain dilakukan terhadap anak-anak di berbagai wilayah di Indonesia untuk dapat ikut dalam program SabangMerauke, Tidar menjelaskan proses seleksi juga dilakukan terhadap sejumlah keluarga dan mahasiswa di Jakarta untuk menjadi orangtua dan kakak angkat selama anak-anak yang berhasil lolos ikut program berada di Jakarta.
“Dua minggu di Jakarta, selama di Jakarta mereka tinggal bersama FSM namanya, atau Family SabangMerauke, dan mereka dimentori oleh KSM, Kakak SabangMerauke,” ujarnya.
“Kita bawa mereka ke Jakarta, melihat apa yang terjadi sebenarnya terjadi di Indonesia ini. Bahwa ada macam-macam tapi bisa kok kita hidup berdampingan, dan ketika mereka kembali mereka akan menjadi duta-duta di lingkungannya, toleransi hanya bisa dipelajari ketika dirasakan, tidak hanya melalui buku saja.”
Salah seorang peserta dari Maluku Utara, Fahrul Rozy Najib, 12, yang beragama Islam, mengatakan banyak hal yang ia dapat dari program SabangMerauke. FSM Fahrul adalah keluarga peneliti dan pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti yang beragama Islam, sedangkan mentornya adalah Gary, seorang mahasiswa Prasetya Mulya beragama Kristen Protestan.
“Saya ingin jadi motivator untuk adik dan teman-teman. Saya ingin belajar, belajar dan belajar dan saya akan berusaha semaksimal mungkin bisa sekolah, berpendidikan di Jakarta dan kuliah di London,” ujarnya dengan semangat.
Tidar mengatakan program ini akan diadakan setiap tahun dan rencananya juga akan dilaksanakan di kota-kota lain agar anak-anak Indonesia mengetahui dan memahami kondisi daerah-daerah lain.
Ia mengatakan program SabangMerauke masih butuh banyak dukungan berupa finansial maupun dalam bentuk lain. Namun ia bersyukur dalam mewujudkan program pertamanya, dana yang dibutuhkan sekitar Rp 110 juta untuk mendatangkan 10 anak dari berbagai daerah datang dari berbagai pihak. Bantuan berdatangan dalam bentuk tiket pesawat, penginapan, transportasi dan biaya makan sehari-hari.
“Program SabangMerauke bermanfaat bagi anak-anak Indonesia sehingga tidak boleh berhenti,” ujarnya.
“Rasa ingin tahu itu timbul karena melihat film-film China dan Korea di televisi, yang membuat mereka bertanya, ‘Pak, kok mereka tidak seperti kita ya? Mereka berkulit putih dan matanya sipit’,” ujar Tidar pada VOA akhir pekan lalu, mengenang pengalaman mengajar selama setahun pada 2011-2012 yang diperuntukkan untuk para anak muda itu.
Ingin membuat kejutan untuk para murid, akhirnya Tidar menghubungi dua rekannya yang merupakan keturunan China untuk datang ke tempat ia mengajar. Namun betapa terkejutnya Tidar karena ketika dua rekannya tiba, justru para murid tidak ingin berkenalan karena kedua rekannya itu bukan beragama Islam.
Sejak itulah Tidar menambah pelajaran, di luar kurikulum resmi, kepada para murid-muridnya tentang toleransi. Menurutnya, lama kelamaan sikap para murid terhadap dua sahabatnya tersebut mulai cair bahkan akrab.
Pengalaman serupa dialami oleh Ayu Kartika Dewi, rekan Tidar yang mengajari di sebuah desa di Maluku pada 2010-2011, yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Daerah tempat Ayu mengajar pernah terjadi konflik agama. Pada masa awal mengajar, setiap hari Ayu diingatkan oleh penduduk setempat untuk jangan pernah menginjak daerah berpenduduk non-Muslim karena bisa dibakar hidup-hidup oleh mereka.
“Peringatan ini justru membuat saya melakukan pendekatan ekstra terhadap penduduk setempat, terutama para muridnya, untuk jangan merasa takut secara berlebihan dan segala masalah bisa dibicarakan serta diselesaikan secara baik-baik,” ujar Ayu.
Pengalaman-pengalaman tersebut mendorong Ayu, Tidar dan beberapa anak muda lain mendirikan Program SabangMerauke pada 2012. Di bawah bendera Yayasan Seribu Anak Bangsa (YSAB), program ini melakukan pertukaran pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) di seluruh wilayah tanah air. Anak-anak tersebut datang dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang suku, agama serta kondisi ekonomi yang berbeda-beda.
Menurut Tidar, dari program tersebut diharapkan tumbuh rasa toleransi, semangat ke- Indonesiaan serta keinginan meraih pendidikan setinggi-tingginya bagi anak-anak.
Setelah melalui serangkaian proses seleksi di seluruh wilayah di Indonesia, program Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali atau SabangMerauke 2013 telah memilih 10 anak dari berbagai daerah. Sejak 29 Juni 2013 hingga 14 Juli 2013, anak-anak tersebut tinggal di Jakarta dan menjalankan serangkaian kegiatan.
“Ini program pertama memang, ada 10 anak dari sembilan provinsi, lima laki-laki, lima perempuan. Satu dari Aceh (beragama) Islam, dari Riau Buddha, Pasuruan Hindu, Bali Hindu, Kalimantan Barat Islam, Sabah Malaysia anak TKI (Tenaga Kerja Indonesia) Katolik, dari Majene Islam, dari Maluku dua Islam, Papua Katolik, satu lagi dari Bali Hindu,” ujar Tidar.
Selain dilakukan terhadap anak-anak di berbagai wilayah di Indonesia untuk dapat ikut dalam program SabangMerauke, Tidar menjelaskan proses seleksi juga dilakukan terhadap sejumlah keluarga dan mahasiswa di Jakarta untuk menjadi orangtua dan kakak angkat selama anak-anak yang berhasil lolos ikut program berada di Jakarta.
“Dua minggu di Jakarta, selama di Jakarta mereka tinggal bersama FSM namanya, atau Family SabangMerauke, dan mereka dimentori oleh KSM, Kakak SabangMerauke,” ujarnya.
“Kita bawa mereka ke Jakarta, melihat apa yang terjadi sebenarnya terjadi di Indonesia ini. Bahwa ada macam-macam tapi bisa kok kita hidup berdampingan, dan ketika mereka kembali mereka akan menjadi duta-duta di lingkungannya, toleransi hanya bisa dipelajari ketika dirasakan, tidak hanya melalui buku saja.”
Salah seorang peserta dari Maluku Utara, Fahrul Rozy Najib, 12, yang beragama Islam, mengatakan banyak hal yang ia dapat dari program SabangMerauke. FSM Fahrul adalah keluarga peneliti dan pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti yang beragama Islam, sedangkan mentornya adalah Gary, seorang mahasiswa Prasetya Mulya beragama Kristen Protestan.
“Saya ingin jadi motivator untuk adik dan teman-teman. Saya ingin belajar, belajar dan belajar dan saya akan berusaha semaksimal mungkin bisa sekolah, berpendidikan di Jakarta dan kuliah di London,” ujarnya dengan semangat.
Tidar mengatakan program ini akan diadakan setiap tahun dan rencananya juga akan dilaksanakan di kota-kota lain agar anak-anak Indonesia mengetahui dan memahami kondisi daerah-daerah lain.
Ia mengatakan program SabangMerauke masih butuh banyak dukungan berupa finansial maupun dalam bentuk lain. Namun ia bersyukur dalam mewujudkan program pertamanya, dana yang dibutuhkan sekitar Rp 110 juta untuk mendatangkan 10 anak dari berbagai daerah datang dari berbagai pihak. Bantuan berdatangan dalam bentuk tiket pesawat, penginapan, transportasi dan biaya makan sehari-hari.
“Program SabangMerauke bermanfaat bagi anak-anak Indonesia sehingga tidak boleh berhenti,” ujarnya.