Program skala besar PBB untuk menghentikan perambahan hutan di Republik Demokratik Kongo, lokasi hutan hujan nomor dua terbesar di dunia, telah membahayakan masyarakat lokal dan gagal untuk melindungi hutan, ujar para peneliti hak-hak lahan hari Rabu.
Rights and Resource Initiative (RRI), sebuah kelompok yang berpusat di AS, telah menyerukan kepada Bank Dunia untuk menangguhkan pendanaan dari 20 proyek yang ada atau yang belum dilaksanakan di provinsi Mai-Ndombe, yang telah menjadi sebuah uji kasus untuk sebuah skema yang dijamin oleh PBB yang dikenal sebagai REDD+.
Di kawasan dimana konflik lahan terjadi di mana-mana, sebuah laporan dari RRI mengatakan proyek-proyek perlindungan hutan di provinsi bagian barat ini mengancam hak-hak dan pendapatan wanita-wanita desa dan kelompok-kelompok penduduk asli, termasuk 73.000 orang suku pigmi.
“REDD+ dibuat dengan tujuan untuk menghentikan perambahan hutan dan menciptakan maslahat bagi masyarakat lokal – namun demikian proyek-proyek di Mai-Ndombe gagal mencapai dua tujuan tersebut,” ujar Marine Gauthier, penulis laporan tersebut.
Juru bicara untuk program REDD+ PBB tidak merespon permohonan untuk memperoleh komentarnya.
Satu dari kasus yang menjadi perhatian melibatkan perusahaan asal AS, Wildlife Works Carbon (WWC), yang menampik tuduhan yang dialamatkan kepada mereka.
Perusahaan itu mendapatkan konsesi lahan yang luas guna melindungi hutan dari para perambah hutan, dan menggunakan porsi uang yang dihasilkan dari menjual kredit karbon untuk memberikan manfaat kepada orang-orang yang tinggal di sana, ujar presiden direktur perusahaan itu Mike Korchinsky.
“Jutaan dolar dari maslahat telah disalurkan kepada masyarakat,” ujarnya kepada Thomson Reuters Foundation. Ia mengatakan WWC telah membangun sekolah, berinvestasi di klinik pengobatan, dan menyalurkan dukungan pertanian selama bertahun-tahun.
Namun Gauthier mengatakan masyarakat lokal, yang menandatangani kesepakatan dengan perusahaan, tidak diajak bicara sebagaimana mestinya, dan mengklaim proyek itu telah menghambat upaya mereka dalam bertani dan juga aktivitas lainnya.
“Masyarakat ini sesungguhnya menanggung beban pengurangan perambahan hutan,” ujarnya.
Bank Dunia mengatakan pendanaan disediakan lewat REDD+ dan para mitranya mendukung sejumlah warga Kongo termiskin, sementara juga berkontribusi untuk mencapai tujuan terkait perubahan iklim.
“Kami akan mengkaji temuan dalam laporan-laporan dan tidak memiliki rencana untuk menangguhkan pendanaan saat ini,” ujar juru bicara Bank Dunia dalam komentar yang dikirim lewat email.
“Pekerjaan ini meningkatkan mata pencaharian, mengurangi tekanan pada hutan-hutan asli dan menekan emisi gas rumah kaca sebagai dampak dari perambahan hutan dan degradasi hutan,” ujar Bank Dunia. RRI mengatakan wanita dan kaum minoritas menjadi golongan yang paling terdampak oleh proyek-proyek REDD+ yang sedang diterapkan, karena mereka acap kali tidak memiliki hak-hak atas lahan secara resmi dan tidak diajak bicara tentang keputusan-keputusan yang diambil.
REDD+, atau reduced emissions from deforestation and degradation, adalah salah satu solusi untuk perubahan iklim yang diluncurkan pada tahun 2015 dalam kesepakatan Paris. Program ini menawarkan insentif finansial untuk mengurangi tingkat perambahan hutan.
Kongo bisa menjadi negara pertama untuk menandatangani kesepakatan REDD+ dengan Bank Dunina tahun ini, menjadi contoh untuk lebih dari 50 negara berkembang yang berencana untuk mengikuti jejaknya, ujar RRI.
Namun demikian, RRI memperingatkan bahwa kesepakatan ini dapat memperburuk konflik dan membuat preseden global yang berbahaya apabila perubahan tidak dilakukan. RRI menyatakan pihaknya telah membagikan hasil yang ada dan diskusi dengan pihak donor segera dilaksanakan. [ww]